Mohon tunggu...
Benediktus Bayu Widya Puryanta
Benediktus Bayu Widya Puryanta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Benediktus Bayu Widya Puryanta adalah Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang memiliki hobi untuk membahas isu-isu terkait Politik dan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Asas Legalitas Baru dalam KUHP Nasional dan Konsekuensinya terhadap Kepastian Hukum

14 Januari 2024   22:54 Diperbarui: 19 Januari 2024   20:20 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini pemerintah telah membentuk suatu produk legislasi baru yaitu KUHP Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Tujuan dibentuknya KUHP Nasional ini adalah untuk memperbaharui KUHP lama yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Dalam KUHP Nasional ini ditetapkan sejumlah perubahan salah satunya adalah penerapan asas legalitas baru di Indonesia. Dalam KUHP Nasional diperkenalkan asas legalitas negatif yang memberikan celah kepada tindakan melanggar hukum yang hidup di masyarakat untuk dipidanakan. 

Asas legalitas negatif yang diterapkan dalam KUHP Nasional dipandang melanggar kepastian hukum yang telah dibentuk melalui asas legalitas positif yang sudah diterapkan dalam KUHP lama. Asas legalitas positif dalam KUHP lama tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana yang berbunyi "Tidak ada suatu perbuatan apapun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan". Berlakunya asas legalitas negatif juga memungkinkan terjadinya sejumlah hal negatif seperti pemaksaan nilai-nilai hukum masyarakat lokal kepada seluruh masyarakat Indonesia, ketidakjelasan dan diskriminasi karena berlakunya dualisme hukum, dan celah diterapkannya hukum lokal yang memiliki sanksi-sanksi berlebihan yang dapat mengancam hak asasi manusia. 

Untuk mengatasi hal-hal negatif tersebut sebenarnya telah diatur Pasal 2 ayat (2) dalam KUHP Nasional yang berbunyi "Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa" yang kemudian juga diatur dalam Pasal 66 ayat (1) KUHP Nasional mengenai penetapan pemenuhan kewajiban adat setempat sebagai pidana tambahan yang dapat diputus oleh majelis hakim, yang juga dipertegas dengan Pasal 66 ayat (2) yang menyatakan bahwa pidana tambahan yang dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan dalam hal pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan. Selain itu hukum adat yang digunakan sebagai landasan penetapan pidana tambahan juga harus dilegalisasikan dalam bentuk peraturan daerah dijelaskan dalam penjelas Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi "Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut" penetapan pemenuhan kewajiban adat setempat sebagai pidana tambahan telah menetapkan pembeda antara perbuatan yang dilarang dalam KUHP Nasional dan perbuatan yang dilarang dalam hukum adat dan menutup kemungkinan bagi hukum adat untuk dijatuhkan sebagai pidana pokok.

Sekilas melalui berbagai mekanisme di atas problematika pelanggaran kepastian hukum yang dibentuk melalui asas legalitas positif dalam KUHP lama telah terjawab. Namun perlu diketahui bahwa penetapan hukum adat sebagai sumber hukum tertulis untuk menjatuhkan pemidanaan sejatinya bertentangan dengan posisi hukum adat itu sendiri yang merupakan sumber hukum tidak tertulis dalam hukum pidana. Legalisasi hukum adat melalui peraturan daerah jelas bertentangan dengan posisi hukum adat sebagai sumber hukum pidana tidak tertulis sehingga tidak ada kepastian hukum dalam pemidanaan. Selain itu penetapan pemenuhan kewajiban adat setempat sebagai pidana tambahan juga masih menyebabkan dualisme hukum dalam putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan karena sejatinya putusan menggunakan hukum adat yang dikeluarkan oleh pengadilan digunakan untuk menyelesaikan masalah terkait kekosongan hukum (Rechtvacuum) dalam KUHP. Penerapan mekanisme yang sudah dijelaskan sebelumnya juga menyebabkan terjadinya pertentangan antar pasal dimana posisi dari Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional yang mengatur mengenai asas legalitas negatif diperlemah dengan Pasal 2 ayat (2) KUHP Nasional dan Pasal 66 ayat (1) KUHP Nasional. 

Sudah seharusnya KUHP dibentuk dengan mempertimbangkan kepastian hukum sehingga ada kejelasan penegakan hukum. Meskipun begitu kita juga tidak boleh mengesampingkan fakta bahwa KUHP dilaksanakan melalui intepretasi yang kaku yang berati diperlukan adanya suatu peraturan tertulis terlebih dahulu agar hukum tersebut dapat diterapkan. Intepretasi kaku dari KUHP lama ini yang mendasari penerapan asas legalitas negatif dalam KUHP Nasional. Meskipun begitu untuk menyelesaikan permasalahan intepretasi kaku dari KUHP lama seharusnya tidak melalui pembentukan KUHP Nasional yang melanggar kepastian hukum tetapi melalui upaya-upaya penegakan hukum dalam masyarakat seperti penerapan sistem Restorative Justice. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun