Menulis. Kata itu kelihatan sederhana, namun punya daya bagi yang mencintainya. Menulis bagi mereka adalah sebuah seni hidup. Seni yang mengandung daya imajinatif dan kreatif. Seni yang lahir dari ekspektasi yang diterjemahkan dalam kata. Juga realita yang coba dibahasakan dalam deretan kata dan kalimat.
Tapi menulis terdengar biasa-biasa di telinga mereka yang tak menekuninya. Bagi mereka menulis mungkin rumit, karena merangkai kata lebih payah dari mengakut satu ton batu bata. Menulis, mungkin kata yang tak berarti atau bahkan tak punya daya yang menggetarkan.
Memang demikian yang harus diterima oleh penulis, sebab tak semua orang jatuh hati padanya. Tapi menulis bukan tentang orang menyukainya atau tidak, orang respek atau tidak tidak dengan tulisan kita. Bukan itu. Menulis adalah sebuah pemberian diri. Sebuah sukacita yang karenanya orang pantas merasa bangga dan bahagia.
Sebab menulis itu duka. Yang menekuninya selalu cemas dengan realitas yang ambur-adul bagai nabi yang cemas dengan dosa-dosa umat Tuhan. Ia ingin semua berlangsung baik dan berjalan seturut hukum alam. Namun ekspektasi yang terlalu tinggi itu membuatnya lari dari keramaian untuk mencari hening. Dalam keheningan kata itu mengalir.
Tetapi menulis itu juga suka. I am what i writte, mungkin kalimat itu sedikit menjelaskan sukanya. Segala rasa si penulis, selalu diungkapnya dalam kata, dan semua itu indah. Adakah yang lebih abadi dari kata-kata? Tidah ada, selain Tuhan dan waktu. Menulis membuatmu dikenang hingga abadi.