Mohon tunggu...
Benediktus Jonas
Benediktus Jonas Mohon Tunggu... Guru - GURU

Writing is a call to serve others and love God. Because everything I have comes from God

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kedalaman Cinta dalam Panorama Kehidupan, Berpijak dari Buku Menjadi-Mencintai

1 Juni 2018   10:08 Diperbarui: 1 Juni 2018   10:36 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sentuhan cinta memanah dan menusuk hidup manusia. Ia pun kadang membuat orang tidak bisa berbicara. Bahasa diam tanpa kata lebih bermakna dan kaya ketimbang melukiskan dengan bahasa verbal. Cinta itu telah ada dalam setiap Pribadi yang hadir sebagai Manusia, Sang Peziarah. Peziarahan hidup yang tak kunjung henti, membawa orang pada sebuah relasi antara Individualitas dan Sosialitas. Keduanya berdialog antara satu dengan yang lain. Kehidupan itu terkristal dalam berbagai bentuk. Ada situasi Bahagia yang tak kunjung henti.

Ada pula saat, di mana orang dibawa pada pengalmanan Kekerasan. Dari sinilah, muncul Penghargaan. Penghargaan menciptakan  aktus Kebijaksanaan Mengenal Diri. Lalu pengenalan akan diri terpancar dalam Persahabatan. Persahabatan semakin bermakna tat kala dihidupi oleh kepercayaan. Sehingga Percaya Itu Indah. Semuanya terangkum dalam Cinta.

Apakah Manusia itu? Itulah pertanyaan besar Filsafat (MM, 09). Manusia sebagai sosok pribadi hadir bersama orang lain. Manusia harus menginjak di bumi ini. Ia berlangkah dengan membawa diri, ego. Manusia memiliki tubuh seutuhnya. Keadaan demikian yang membuat ia bisa dikenal. Kalau manusia tidak memiliki tubuh, maka orang tak bisa mengenalnya. Tubuh mencetuskan tanda kehadiran diri. Tubuh manusia seperti materi. Bisa hancur, atau busuk dan bau kalau gong kematian menjemput.

Namun berbeda dengan materi lainnya. Tubuh itu dihargai dan dihormati sedemikian rupa sebagai 'sakramen' kehadiran dalam hidup bersama. Contohnya, kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya belum tahu gadis itu, mengindikasikan bahwa ia belum melihat tubuh keseluruhan gadis itu. Dulu kita mengenal idiologi aparheid, perbedaan warna kulit (MM, 10).

Tubuh adalah kerativitas jiwa. Karena jiwa berziarah, ia memiliki titik awal dan akhir. Akhir dari badan adalah kebinasaan. Kehidupan tidak berhenti di sana, manusia juga harus bisa berpikir dalam keberadaannya dengan yang lain.

Filsuf Gabriel Marcel pernah menulis "Esse est co-Esse" : Ada, hidup berarti berada bersama dengan yang lain. Keberadaan itu hanya akan berarti dalam cinta. Amor omnia vincet, Cinta mengalahkan segalanya. Pada saat orang berhenti mencintai, maka sebentar lagi lonceng kematian dibunyikan. Lalu babagaimana sang cinta ini diihidupi, agar tidak menjadi almarhum. Sampailah pada sebuah kepenuhan hidup bahwa menjadi pribadi adalah sebuah keniscayaan.

Socrates pernah bergumam demikian "hidup yang tanpa direfleksi adalah hidup yang tak layak untuk dihidupi". Dasar sebuah hidup adalah pijakan berefleksi. Hidup menjadi sebuah nirmakna ketika dilalui begitu saja. Kembali nada-nada refleksi berkecamuk dalam hidupku. Melahirkan sebuah kata "Aku". Aku tercipta sebagai individu yang hadir sekaligus berpijak di dunia ini. Keberadaan itu terpenuh dalam identitas diri yang utuh. Aku berlangkah dalam dunia sebagai makhluk berziarah (homo viator).

Bagaikan seorang yang masih berjalan menuju sebuah tempat. Ke mana tempat mana, aku tak tahu. Serentak pertanyaan geletik nan klasik mencuat ke permukaan, siapakah aku ini? Dari mana aku berasal dan ke mana aku akan pergi? Suatu hal yang membahagiakan, aku ada dengan 'aku' yang lain. Aku hanya menjadi aku seutuhnya dalam kebersamaan dengan yang lain. Kehadiran 'aku yang lain' kembali menoreh sebuah refleksi, siapakah mereka? Adakah sesuatu yang membuat kami ada.

Kebersamaan, dalam nada kasih, kembali sebuah perasaan bersuara lagi, kenapa kami ada bersama dan hidup bersama? Adakah sesuatu yang membuat semuanya bisa menciptakan sebuah keharmonian. Atau malah sebaliknya, menciptakan sebuah kekerasan.  Relasi antara aku dan 'aku yang lain' membawa pada sebuah pengalaman cinta.

Hidup itu sendiri sebuah anugerah dan tanggungjawab (leben ist gabe und aufgabe). Pada tempat yang sama, bisa mengatakan bahwa hidup adalah cinta. Apakah cinta selalu bahagia? Ya, cinta membawa kebahagiaan. Setiap manusia mencari kebahagiaan itu sendiri. Aristoteles pun lebih tegas mengatakan mencari kebahagiaan adalah aktivitas manusiawi (MM, 56). Levinas pun mengatakan kebahagiaan tidak ada, kecuali berkaitan dengan kebahagiaan lyan, orang lain (MM, 58).

Namun hidup tak selamanya bahagia.  Ia tidak berhenti pada titik itu, namun hidup juga dihinggapi kekerasan. Aneh, hidup itu adalah kekerasan. Seseorang ibu bisa saja membunuh anak kandung karena tidak bisa memberi makan. Namun, tidak semua kekerasan dimotif oleh cinta. Kini kekerasan bisa tampil sebagai sebuah budaya dalam kultur hidup modern (MM, 93).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun