Mohon tunggu...
Benedict Nathanael Halim
Benedict Nathanael Halim Mohon Tunggu... Pelajar SMA

Saya adalah pribadi yang terbuka untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ironi Piring Anak Bangsa: Janji Gizi yang Berujung Keracunan

23 September 2025   07:07 Diperbarui: 23 September 2025   07:16 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program makan bergizi gratis dielu-elukan sebagai janji besar. Namun, serangkaian kasus keracunan massal mengubahnya menjadi ironi yang menyakitkan. Di balik narasi mulia tentang gizi dan kepedulian negara, program ini justru menjadi cermin dari krisis kepercayaan, moralitas, dan tata kelola yang mendalam.

Keracunan massal dalam program makan bergizi bukan sekadar masalah teknis, melainkan gejala sistemik. Esai ini mengupas bagaimana insiden tersebut mencerminkan fobia sosial, sandiwara tata kelola seperti kasus pagar laut, dan krisis etika politik yang membuat janji-janji pejabat hanya menjadi teks mati.

Jika kita menelusuri lebih dalam, masalah program ini menyentuh ranah tata kelola dan ekonomi politik. Sama halnya dengan "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal" yang dikritik tajam oleh editorial Kompas, rantai pengadaan makanan dalam program ini tampak penuh masalah. Proses pemilihan vendor yang tidak transparan, pengabaian kualitas bahan baku, dan pengawasan yang minimalis mengindikasikan bahwa program ini berpotensi menjadi ladang politik dan ekonomi. Editorial tentang pagar laut menggarisbawahi bagaimana proyek tak berizin melibatkan banyak pihak dan dilemahkan oleh buruknya penanganan hukum. Dalam kasus makan bergizi, hal serupa terjadi. Keselamatan anak-anak seolah ditukar dengan "efisiensi" semu demi keuntungan segelintir pihak. Program yang semestinya berorientasi pada gizi dan kesehatan, bergeser menjadi komoditas politik yang dikelola secara serampangan. Kegagalan ini, seperti yang diulas dalam artikel pagar laut, dapat menyulut bara konflik sosial akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap perangkat pemerintah dan hukum yang dianggap tidak serius menangani masalah.

Dimensi yang paling serius dari persoalan ini adalah soal moralitas dan keteladanan. Program ini digembar-gemborkan sebagai bentuk janji politik, tetapi janji itu terasa kosong ketika implementasinya penuh kelalaian. Artikel "Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati" menyebutkan bahwa masalah nyata bangsa ini adalah sirnanya keteladanan. Kita kehilangan tokoh-tokoh yang berani berjuang untuk negeri, yang ucapannya sejalan dengan tindakannya. Program makan bergizi ini menjadi bukti baru. Janji gizi yang diucapkan para pemimpin seolah hanya menjadi teks mati di atas kertas ketika masuk ke lapangan. Etika politik luntur. Pemimpin yang seharusnya menjadi teladan justru terkesan lebih sibuk menjaga citra daripada memastikan keselamatan anak-anak. Kegagalan ini tidak hanya menunjukkan ketidakmampuan teknis, tetapi juga krisis keteladanan yang mendalam, sebuah masalah yang menurut artikel, telah melanda bangsa ini sejak lama.

Maka, untuk menyelamatkan program ini, solusi harus tegas dan menyeluruh, di mana langkah-langkah teknis harus disertai dengan penegasan etika politik. Pemerintah harus melakukan audit total terhadap seluruh vendor dan rantai distribusi. Hasilnya harus dipublikasikan secara terbuka dengan melibatkan lembaga independen seperti BPK dan KPK sejak awal. Sertifikasi dan pengawasan berbasis digital juga harus diterapkan, di mana setiap dapur dan tenaga masak wajib memiliki sertifikasi keamanan pangan dan sistem pengadaan dapat diawasi publik secara real-time. Sanksi berat, termasuk pemutusan kontrak dan proses hukum, harus diberikan kepada pihak yang lalai, dengan melibatkan masyarakat sipil, orang tua, dan ahli gizi dalam mekanisme pengawasan resmi. Para pemimpin juga harus berani mengutamakan kualitas ketimbang kecepatan ekspansi. Keberanian untuk menunda implementasi di daerah yang belum siap jauh lebih baik daripada memperluas program dengan risiko anak-anak kembali menjadi korban. Pada akhirnya, program ini bukan sekadar kebijakan teknis. Ia adalah ujian moralitas bagi para pemimpin.

Pada akhirnya, program ini bukan sekadar kebijakan teknis. Ia adalah ujian moralitas bagi para pemimpin.

 Jika dibiarkan berjalan dengan pola lama, ia hanya akan tercatat sebagai ironi yang menyedihkan. Negara yang berjanji memberi makan dengan aman justru membuat anak-anak sakit. Inilah saatnya pemerintah membuktikan bahwa sumpah pejabat tidak lagi mati di kertas, melainkan hidup dalam piring anak-anak bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun