Mohon tunggu...
Ellen Maringka
Ellen Maringka Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akun Ini Tidak Aktif Lagi dan Tidak Akan Aktif Lagi di Kompasiana. Tidak menerima atau membalas pesan di Inbox.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kang Pepih Menjelaskan, Saya Melipir; Time To Say Goodbye

15 Oktober 2015   18:38 Diperbarui: 15 Oktober 2015   19:27 4429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Setelah sekian lama ditunggu tunggu, akhirnya Pepih Nugraha menulis artikel mengenai kehebohan akun PK alias GT. Pasca artikel Kang Pepih, begitu banyak kompasianer menulis penuh semangat menggelora, isinya kurang lebih sama... kuciwaaaaa....!

Berbondong bondonglah kritikan, kripik, saran, sanggahan dan kalimat protes terangkai dalam artikel para kompasianer yang cerdas cerdas. Dari sekian banyak artikel yang ditujukan meng-counter artikel PI, pada umumnya merasa takjub dan kaget dengan penjelasan PI yang panjang dan runut namun berputar putar pada adanya peluang bahwa belum tentu PK itu GT.

Tidak peduli segala fakta termasuk foto sudah jelas terpampang di depan mata, seluruh Indonesia sudah geram, dan kasus ini dibahas di berbagai media main stream, toh Kang Pepih dengan polosnya masih menulis bahwa tidak cukup bukti PK itu GT.

Saya tidak akan membahas panjang lebar lagi, baik secara logika, teori, fakta maupun bukti nyata akun Ifani kosong melompong, dan Vita Sinaga diam seribu bahasa. Saya harus menerima (meski kecewa) bahwa seorang Pepih Nugraha memang tidak memiliki semangat kuat memberantas korupsi di negara ini.

Kang Pepih lebih memikirkan tentang hak seorang narapidana koruptor untuk berekspresi lewat tulisan (medsos), meski jelas jelas sudah ada peraturan napi tidak boleh bergadget ria.  Selebihnya agar ringkas dan cepat, PI melempar issue ini ketangan aparat hukum.

Padahal yang ingin diketahui segenap warga Kompasiana adalah dimana jelasnya Kang Pepih berdiri dalam gerakan bangsa memberantas korupsi?. 

Dengan artikel PI yang menjadi headline tadi malam, saya tidak hendak memperdebatkan lagi pemikiran dan keputusan kang Pepih tentang akun Pakde Kartono.

Saya memilih untuk logis. Ketika saya menulis di Kompasiana, tentu dengan tujuan membawa kebaikan bagi sesama lewat kritik dan saran kepada pemerintah atau seruan seruan agar Indonesia menjadi negara maju yang sejahtera, aman dan damai bagi semua. Penyakit korupsi yang menggerogoti seperti kanker, sudah selayaknya diberangus dengan sikap luar biasa.

Ketentuan yang tersirat maupun tersurat di Kompasiana, secara eksplisit dapat diartikan bahwa semua penulis harus tunduk pada ketetapan dan kebijakan admin. Bahasa sederhananya lagi, kalau tidak cocok dengan apa yang digariskan admin, ya sudah tidak usah menulis di Kompasiana.

Ini bukan soal beda pendapat mengenai topik tertentu seperti yang sering terjadi di K. Dulu kasus Sitok, kemudian Pilkada. selalu ada dua kubu yang bersikeras bahwa masing masing mereka lebih benar dari yang lain. 

Ketika sudah menyentuh korupsi, saya sangat yakin bahwa sesungguhnya kita semua bersatu hati ingin memberantas. Sayangnya dalam artikel kang Pepih tadi malam, saya benar benar tidak melihat sedikitpun ada keinginan yang sungguh sungguh dari Kang Pepih untuk berdiri sebagai patriot melawan koruptor.

Yang ada hanya pembelaan demi pembelaan berbungkus alasan ini-itu tidak jelas dan serba ngeles. Mau ngeles bagaimana lagi? Lha Gayus Tambunan oleh pemerintah akibat keluyurannya dengan dua Kompasianer wanita sudah digeser ke gunung Sindur. Dua foto yang beredar secara gamblang dengan penampakan wajah jelas, dianggap masih mungkin..... mungkin mirip... (mungkin juga yang mikir sudah tidak waras...) mungkin lhooooo!.

Kalau sudah begini, saya tidak merasa nyaman lagi berada di Kompasiana, yang dipimpin oleh Kang Pepih. Perbedaan prinsip sudah jelas menganga. Aku begini... engkau begitu... ya pisah saja.

Berhenti menulis di Kompasiana apakah berarti saya berhenti berjuang menyuarakan anti korupsi? Ah... tidak sama sekali. Saya hanya memilih untuk berjuang lewat jalan lain, dengan cara saya sendiri. Yang paling penting adalah mendidik dan mendampingi anak anak saya agar tumbuh dewasa bebas mental koruptor.

Kenapa pakai nulis artikel gutbai segala sih?. Lha justru ini diperjelas saja, jangan nanti muncul lagi sangkaan Ellen Maringka tuh berhenti menulis karena bla.. bla ..bla... (meminjam jurus Hanna Chandra, karena disuruh The Watcher!). 

Bagaimanapun, saya tetap berterima kasih kepada Kompasiana, dibawah kepemimpinan Kang Pepih, selama hampir tiga tahun saya telah diberi kesempatan untuk berkontribusi lewat tulisan (semoga saja banyak pembaca merasakan manfaat yang baik lewat 395 artikel saya).

Soal peringkat Alexa, dan segala tetek bengeknya, saya tidak paham. Artikel artikel saya juga tidak dibaca sampai jutaan orang... tapi memang bagi saya pribadi bukan berapa banyak yang membaca tulisan saya, tapi berapa banyak yang merasa ada kebaikan yang bermanfaat lewat tulisan saya.

Untuk para sahabat kompasianer yang saya kasihi... Terus berjuang demi kebaikan diri dan sesama. In everything you do.. I wish you well my friend. Keep kindness alive, and rock on...!

*saya titipkan artikel favorit saya... mudah mudahan bisa menjadi bahan perenungan dan anggaplah sebagai pengobat rindu kalau kalau saya dikangenin... (kalau tidak juga ya pokoknya tetap saya titip!). Maksa dot com, maklum artikel terakhir, sedikit kengototan mohon dimaklumi.

http://www.kompasiana.com/benedict/dulu-kita-pernah-sangat-kaya_551ae843813311e8489de265

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun