Di tengah gempuran novel romantis dan fiksi fantasi yang membanjiri dunia literasi Indonesia, hadir sebuah karya sederhana namun menghujam relung terdalam jiwa. Buku “Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu” karya Helobagas bukan sekadar kumpulan narasi, melainkan jeritan batin yang selama ini hanya bisa disimpan dalam diam. Buku ini adalah potret luka, cinta, dan ketidaksempurnaan manusia yang berusaha kuat di tengah rapuhnya kenyataan hidup.
Penulis yang Bicara dengan Hati
Helobagas, atau yang bernama asli Bagas Dwi Satria, dikenal sebagai penulis yang kerap menulis tentang isu kesehatan mental, keluarga, dan pencarian makna hidup. Ia memiliki gaya menulis yang jujur, puitis, dan sangat emosional. Lewat “Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu”, Helobagas mempersembahkan sebuah surat panjang dari anak kepada ibunya bukan dalam bentuk surat fisik, melainkan curahan hati yang selama ini terpendam.
Buku ini ditulis seperti dialog satu arah. Sang anak berbicara kepada ibunya tentang semua beban yang tak pernah ia tunjukkan secara langsung. Ia menceritakan kelelahan, kegagalan, perasaan tidak cukup, hingga rasa bersalah karena tidak mampu membuat ibunya bangga.
Tema Besar: Luka yang Tertahan
Salah satu kekuatan buku ini terletak pada temanya yang sangat dekat dengan banyak orang hubungan antara anak dan ibu. Namun bukan hubungan yang selalu harmonis, melainkan yang penuh tekanan batin, harapan yang tak tersampaikan, dan kasih sayang yang sering disalahartikan.
Dalam kehidupan nyata, banyak anak yang berpura-pura kuat demi orang tua. Mereka menekan perasaan sendiri, takut dianggap lemah, atau merasa bersalah jika menunjukkan kelemahan. Buku ini menggambarkan semua itu dengan sangat manusiawi.
“Bu, aku sering berpura-pura baik-baik saja, bukan karena aku kuat. Tapi karena aku gak mau Ibu tambah sedih.”
Kutipan seperti ini begitu relevan, terutama bagi generasi muda yang tengah berjuang dengan kesehatan mental namun merasa harus tetap “tahan banting” demi keluarga.
Bahasa yang Mengalir dan Menyentuh
Helobagas menggunakan gaya bahasa naratif yang cenderung puitis, namun tetap mudah dicerna. Ini membuat buku ini tidak hanya cocok untuk pembaca muda, tapi juga semua kalangan yang sedang mencari bacaan yang dapat menguatkan mereka secara emosional.
Penggunaan kalimat pendek, repetisi, dan metafora sederhana membuat pembaca seolah sedang membaca buku harian seseorang atau bahkan melihat diri mereka sendiri di dalamnya. Emosi yang dituliskan terasa mentah, jujur, dan tidak dibuat-buat. Justru di sanalah letak kekuatannya.
Dampak dan Resonansi
Buku ini tidak hanya menyentuh individu secara pribadi, tapi juga menjadi perbincangan di media sosial. Banyak pembaca yang mengutip bagian-bagian dari buku ini sebagai refleksi pribadi mereka. Bahkan, beberapa mengaku menangis saat membacanya, karena merasa seperti membaca isi hati sendiri yang selama ini terkubur.
Selain itu, buku ini juga membuka ruang diskusi tentang pentingnya komunikasi antara anak dan orang tua, serta urgensi memahami kesehatan mental dalam konteks keluarga Indonesia yang sering mengedepankan ketabahan tanpa ruang untuk mengekspresikan kerapuhan.
Lebih dari Sekadar Buku
“Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu” bukan hanya buku untuk dibaca ini adalah pengalaman untuk dirasakan. Ia mengingatkan kita bahwa tidak apa-apa merasa lelah. Bahwa di balik senyum seorang anak, bisa jadi tersimpan luka yang dalam. Dan bahwa menjadi manusia berarti mengizinkan diri untuk rapuh, tanpa merasa bersalah karenanya.
Di akhir buku, Helobagas seolah mengajak kita semua untuk berdamai dengan ibu kita, dengan diri kita, dan dengan luka yang belum sembuh. Sebuah ajakan yang lembut, namun penuh makna.
Sekilas tentang novelnya:
Genre: Drama, keluarga, emosional
Tema utama: Hubungan antara anak dan ibunya, pengorbanan, dan rasa bersalah
Gaya penulisan: Naratif, puitis, dan sering menggunakan bahasa yang menyentuh perasaan pembaca
Sinopsis singkat:
Ceritanya berpusat pada seorang anak yang merasa tidak mampu membalas semua pengorbanan ibunya. Ia menyimpan banyak luka batin dan tekanan hidup, tetapi selalu berusaha terlihat kuat di hadapan sang ibu. Novel ini menggambarkan dengan tajam betapa besarnya cinta seorang ibu dan betapa seringnya seorang anak merasa tidak cukup layak membalas semuanya.
Banyak kutipan dari novel ini yang viral karena begitu menyayat hati, seperti:
"Bu, maaf kalau aku sering pura-pura kuat. Sebenarnya aku lelah, tapi aku gak mau Ibu khawatir..."
Fakta menarik:
"Mungkin aku nggak pernah bilang secara langsung, tapi aku selalu ingin Ibu tahu... aku mencintaimu, meski kadang caraku menyakitimu."
"Aku sering menangis diam-diam, Bu. Di kamar, di kamar mandi, bahkan di jalan pulang. Tapi aku pastikan, saat sampai rumah, aku tetap tersenyum."
"Aku bukan anak yang sempurna. Tapi aku selalu ingin menjadi alasan Ibu bahagia, meski aku sendiri belum tahu caranya bahagia."
Helobagas dikenal dengan tulisan-tulisannya yang mengangkat tema psikologis dan kehidupan sehari-hari yang relatable.
Cerita ini juga banyak dibaca oleh kalangan muda karena gaya bahasa yang lugas tapi menyentuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI