Filsafat di otak, tidak di hati. Sedih. Filsafat itu bukan sebatas pengetahuan. Filsafat itu kebenaran. Kalau kebenaran, maka sedih sekali kalau cuma jadi bahan seminar dan pamer ilmu, mampu kutip sana kutip sini, menurut ini menurut itu.Â
Hasilnya sebatas kutip-mengutip dan turut-menurut siapa dan siapa, sebatas pendapatnya kumpulan pendapat, lisan dan tertulis. Kamus filsafat dan ensiklopedi filsafat penuh dengan filsuf dan filsafat dan semuanya jadi penghias laci-laci tidak di hati dan hati.
Filsafat itu rumah. Nafsu mengetahui halamannya. Nalar mencari  itu serambi. Naluri menjamu itu bilik tamu. Nurani tafakur itu kamar tidur. (4N, Kwadran Bele, 2011).Â
Padu, lengkap, utuh. Itulah saya, anda, dia, kita yang namanya manusia. Manusia tanpa filsafat bukan manusia. Karena tidak ada manusia tanpa filsafat. Filsafat dalam arti  cinta kebenaran. Tipu- menipu, bohong-bohongan, taktik busuk adalah virus mematikan, musuh filsafat.Â
Cucu saya, Carlo, lima tahun. Adiknya Yutri, empat tahun. Carlo makan coklat. Yutri minta. Carlo bilang, ini pedis. Yutri percaya. Dari siapa Carlo pelajari cara berbohong ini? Siapa lagi kalau bukan dari orang tua. Kami yang tua-tua tertawa, senang, lucu. Lelucon yang tidak lucu.Â
Carlo membohongi adiknya, adik percaya. Kami orang tua melihatnya sebagai permainan otak yang lucu, pada hal untuk kedua ccucu ini bohong-bohongan itu bukan permainan. Tanpa sadar, filsafat dirusak mulai dari kecil, mulai dari rumah. Cinta kebenaran diracuni dengan keinginan culas, pikiran miring, kata-kata bohong, perasaan tebal, hati kebal.Â
Filsafat harus menjadi rumusan sarat makna.  Istilah-istilah  manis. Pemicu pikiran untuk  pikir yang benar dan selalu benar. Hidup kita manusia jadi benar karena yang benar itu tersebar di antara kita lalu mekar ibarat mawar semerbak harumnya tanpa harus tertikam durinya. Itulah filsafat.Â
Semua sukar-sulit dan susah-derita yang kita alami di dunia ini terjadi karena filsafat, Â kebenaran sedang cedera. TUHAN masih sabar karena DIA MAHA SABAR.