saat pemerintahan ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, banyak harapan digantungkan pada proyek ini. Dari mimpi besar Indonesia sentris, pembangunan berkeadilan, hingga pemerataan ekonomi lintas wilayah. Namun, lima tahun sejak proyek ini digagas, dan lebih dari satu tahun sejak sebagian fungsi pemerintahan mulai berpindah, pertanyaan mulai menggema:
> Apakah dengan ibu kota pindah, ketimpangan ikut bergeser? Atau justru kita hanya memindahkan pusat kekuasaan tanpa mengubah struktur ketidakadilan yang sama?
---
Pindahnya Simbol atau Pindahnya Solusi?
IKN didesain sebagai "smart city", "green city", dan "inclusive city". Tapi istilah-istilah keren ini masih lebih sering terdengar di presentasi forum internasional daripada terasa di tanah air.
Sementara itu, ketimpangan struktural antara pulau Jawa dan luar Jawa, kota dan desa, pusat dan pinggiran---masih kokoh berdiri. Jakarta boleh tak lagi jadi ibu kota, tapi ketimpangan tidak pergi bersamanya.
Contohnya:
PDB per kapita Jakarta (2024): Rp250 juta/tahun
PDB per kapita Papua: Rp55 juta/tahun
Selisihnya nyaris 5 kali lipat. Bahkan ketika pusat administrasi mulai bergeser ke IKN, akses pendidikan tinggi, pelayanan kesehatan, dan investasi swasta masih menumpuk di Jawa.
---