"Kalau saya tanya, nanti diketawain, Bu."
Kata itu terlontar lirih dari seorang siswa SMP ketika saya menanyakan kenapa ia jarang mengangkat tangan. Padahal jelas dari raut wajahnya bahwa ia belum memahami materi.
Kejadian seperti ini bukan cerita baru. Hampir semua guru pernah melempar, "Ada yang mau ditanyakan, anak-anak?" Lalu kelas mendadak sunyi. Beberapa siswa menunduk, yang lain tiba-tiba sibuk mencoret-coret buku. Tidak ada tangan terangkat bukan karena semua sudah paham, melainkan karena mereka takut salah bicara, takut dikritik, atau takut dianggap kikuk.
Apa yang terjadi ketika ruang kelas membeku seperti itu? Mengapa anak SMP lebih memilih diam daripada bertanya?
Diam Bukan Tanda Mengerti
Tak jarang orang dewasa keliru membaca suasana kelas yang sunyi sebagai tanda bahwa semua siswa mengerti. Padahal, keheningan itu bisa jadi lambang ketidakpastian dan ketakutan.
Saya pernah bertemu dengan seorang murid yang sangat aktif di luar kelas kreatif, cerewet, selalu punya ide. Namun begitu guru memulai pelajaran, murid itu berubah diam. Ketika saya tanya perlahan, jawabannya:Â "Takut salah, Bu."
Dalam konteks ini, diam bukan bentuk kepatuhan, melainkan strategi melindungi diri dari rasa malu atau olok-olok. Anak memilih mundur diam daripada "keluar zona nyaman".
Fenomena ini ternyata juga tercermin dalam survei. Menurut Program for International Student Assessment (PISA) 2018, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam student engagement. Hanya sekitar 29% siswa yang merasa percaya diri untuk berbicara atau bertanya di kelas, jauh di bawah rata-rata OECD yang mencapai 49%. Angka ini menunjukkan bahwa masalah keberanian bertanya memang nyata dan sistemik.
Artinya, bukan hanya soal individu yang pemalu. Ada kultur sekolah, pola interaksi guru-siswa, bahkan tekanan teman sebaya yang ikut membentuk perilaku diam ini.
Akar Masalah: Di Mana Titik Serapnya?
Untuk menelusuri akar fenomena ini, perlu kita paparkan beberapa faktor utama:
1. Kultur Sekolah yang Tidak Ramah Kesalahan