Pengalaman di sekolah saya memperkuat data nasional. Setiap upacara bendera Senin pagi, selalu ada murid yang tiba-tiba pucat, pusing, bahkan hampir pingsan.
Ketika ditanya, sebagian besar mengaku belum sarapan. Ada yang hanya minum susu, ada pula yang tersenyum malu seakan tak tahu harus menjawab apa. Fenomena ini menegaskan bahwa masalah sarapan bukan sekadar statistik di atas kertas, tetapi realitas sehari-hari yang menghantam aktivitas pendidikan kita.
Guru dan teman-teman sekelas pun sering harus menghentikan kegiatan untuk menolong murid yang tidak kuat berdiri. Situasi ini menjadi alarm nyata: energi belajar anak-anak rapuh karena fondasi gizinya kosong di pagi hari.
Fondasi Sehat Dimulai dari Rumah
Sebagus apa pun program sekolah, fondasi kebiasaan sarapan tetap dibangun di rumah. Orang tua memiliki peran vital memastikan anak berangkat sekolah dengan perut terisi.
Namun, banyak alasan yang muncul: orang tua sibuk, anak sulit bangun pagi, atau tidak ada waktu menyiapkan makanan. Padahal, sarapan tidak selalu harus rumit. Sepotong roti dengan telur, nasi goreng sederhana, atau bubur instan dengan tambahan sayur sudah cukup memberi tenaga.
Kuncinya ada pada kesadaran dan konsistensi. Anak perlu memahami bahwa sarapan bukan pilihan, melainkan kebutuhan sehari-hari layaknya menyikat gigi sebelum berangkat sekolah.
Sekolah sebagai Agen Perubahan
Sekolah sering fokus pada kurikulum, sementara sisi gizi murid belum menjadi perhatian utama. Padahal, lingkungan sekolah punya peluang besar menanamkan budaya sarapan sehat.
Guru bisa memulai pelajaran dengan percakapan ringan soal menu sarapan murid. Dari sana, siswa bisa saling berbagi ide makanan sehat yang sederhana. Kantin sekolah juga dapat diarahkan menyediakan menu bergizi, bukan sekadar jajanan instan atau minuman tinggi gula.