Di suatu kelas, saya pernah memberikan tugas sederhana:Â "Bacalah satu bab dari buku ini, lalu ceritakan kembali dengan bahasamu sendiri." Beberapa siswa mengangguk cepat, tetapi ketika hari presentasi tiba, yang saya dengar bukan ringkasan dari isi buku melainkan potongan kalimat dari Google, bahkan ada yang terang-terangan berkata, "Saya lihat ringkasannya di TikTok, Bu."
Buku tebal itu nyaris tak tersentuh. Namun, jempol mereka lincah berpindah dari satu layar ke layar lain. Saat itu, saya tersadar: kita sedang berhadapan dengan generasi baru - generasi scroll.
Pertanyaan pun muncul: apakah sekolah sedang benar-benar kalah bersaing dengan TikTok?
Data Literasi yang Kontras
Fenomena ini bukan sekadar cerita di satu kelas. Data PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat bawah soal literasi membaca. Di sisi lain, Kominfo (2023) mencatat lebih dari 98% remaja Indonesia adalah pengguna aktif media sosial, dengan rata-rata waktu 3--5 jam per hari untuk scrolling TikTok, Instagram, atau YouTube Shorts.
Indeks Literasi Digital Indonesia (ILDI) 2022 menunjukkan skor rata-rata nasional 3,54 dari 5 (kategori "sedang"). Sementara Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) terus naik dari 37,80 (2022) ke 43,34 (2024). Angka-angka ini membuktikan bahwa akses dan keterampilan digital makin meningkat, tetapi belum tentu diiringi dengan kemampuan literasi mendalam.
Di sisi lain, Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) masyarakat Indonesia yang dirilis Perpusnas menunjukkan tren positif: naik menjadi 66,77 (2023) (kategori "tinggi"). Namun, riset BPS (2024) menunjukkan hanya 44,56% siswa yang memanfaatkan perpustakaan atau taman bacaan masyarakat. Artinya, meskipun minat baca secara umum meningkat, akses dan praktik membaca buku di kalangan siswa masih jauh dari ideal.
Fokus Menyusut, Instan Menjadi Budaya
Dari pengamatan pribadi, ada beberapa konsekuensi nyata:
- Fokus yang menyusut. Saat diskusi kelas, banyak siswa hanya mampu bertahan mendengarkan selama 5--7 menit sebelum mulai joget kecil ala TikTok atau bahkan menatap kosong tanpa arah seolah tubuhnya di kelas, tapi pikirannya sedang scrolling.
- Pemahaman dangkal. Ketika diminta menjelaskan isi teks bacaan, jawaban mereka sering sepotong-sepotong, tanpa analisis mendalam.
- Budaya instan. Mereka lebih suka jawaban cepat daripada proses berpikir panjang. "Ngapain baca lama-lama kalau ada ringkasannya di medsos?" begitu kata salah satu siswa.
Namun, saya juga melihat sisi positif:
- Kreativitas visual. Mereka bisa membuat konten singkat yang menarik untuk menjelaskan topik pelajaran.
- Kecepatan adaptasi. Informasi terbaru, mulai dari tren musik hingga isu global, mereka ketahui lebih dulu daripada guru.
Sayangnya, riset indonesia.go.id (2023) menemukan sekitar 70% anak di Indonesia sudah aktif menggunakan internet, tetapi 80% orang tua tidak tahu aktivitas digital anaknya. Inilah celah besar yang membuat "scroll" lebih dominan sebagai hiburan daripada sebagai sarana belajar.
"Karena Cepat, Bu"
Dalam sebuah sesi refleksi, saya pernah bertanya langsung kepada siswa: "Mengapa lebih suka melihat ringkasan di TikTok daripada membaca buku teks?" Jawaban mereka sederhana tapi jujur: "Karena cepat, Bu. Kalau salah satu video kurang jelas, tinggal geser ke video lain. Kalau buku, harus dibaca lama, dan kadang bahasanya bikin pusing."
Pernyataan itu menampar. Bukan sekadar soal malas membaca, tapi juga bukti bahwa cara penyajian materi ikut menentukan apakah generasi ini mau bertahan di sebuah teks atau memilih berpindah ke layar berikutnya.
Makna Literasi yang Bergeser
Menyalahkan siswa bukan solusi. Mereka lahir di era di mana "scroll" sama naturalnya dengan kita dulu membuka halaman buku.
Masalah utamanya bukan sekadar rendahnya minat baca, melainkan pergeseran makna literasi. Jika dulu literasi identik dengan "membaca buku", kini literasi juga berarti:
- Literasi digital kemampuan menilai kredibilitas informasi online.
- Literasi visual memahami pesan dalam gambar/video singkat.
- Literasi kritis tidak menelan mentah-mentah konten viral.