Membaca setiap tulisan, saya bisa merasakan bahwa lagu hanyalah pemicu, tapi di baliknya tersimpan dunia perasaan yang tak mereka tunjukkan di obrolan sehari-hari.
Dari Kertas ke Kompasiana
Setelah semua selesai, saya memeriksa setiap tulisan. Saya teliti ejaan, tanda baca, kalimat, diksi, dan struktur. Bagi yang tulisannya sudah rapi, saya minta untuk diketik di Kompasiana. Alasannya sederhana: tulisan mereka layak dibaca lebih banyak orang. Bukan hanya saya yang menilai, tapi mereka juga saling membaca dan memberi komentar. Ada yang memuji gaya bahasa temannya, ada yang memberikan saran untuk memperkuat metafora dan diksi.
Data Kemendikbud (2023) menyebut minat menulis kreatif siswa Indonesia masih rendah. Namun hari itu saya melihat bukti sebaliknya: mereka mau menulis ketika topiknya dekat dengan hati.
Mengajar Menulis, Mengasah Empati
Tugas ini mungkin terlihat sederhana, tapi dampaknya besar.
Pertama, mereka belajar bahwa menulis itu bukan sekadar memenuhi tugas sekolah, tapi juga media untuk menyalurkan rasa.
Kedua, mereka merasakan bahwa teks deskripsi bukan hanya menggambarkan benda atau tempat, tapi juga perasaan yang sulit diucapkan.
Ketiga, mereka mendapatkan pengalaman nyata bagaimana sebuah tulisan bisa menyentuh hati pembaca, bahkan orang yang tidak mereka kenal.
Panggung yang Lebih Luas
Kompasiana menjadi panggung mereka. Tulisan yang awalnya hanya untuk tugas sekolah, kini dibaca oleh banyak orang. Beberapa mendapat komentar positif dari pembaca luar. Bayangkan perasaan mereka ketika tahu tulisannya dihargai orang di luar lingkar pertemanan mereka. Ada rasa bangga, ada dorongan untuk menulis lagi, dan ada keyakinan bahwa suara mereka layak didengar.
Ketika Guru Juga Belajar
Hari itu saya belajar bahwa anak-anak punya banyak cerita, tapi butuh ruang yang aman untuk membagikannya. Lagu menjadi jembatan, tulisan menjadi wadah, dan Kompasiana menjadi panggung. Mereka bukan hanya siswa yang mengerjakan tugas, tapi juga penulis yang sedang belajar bicara lewat kata. Dan saya? Saya bukan hanya guru Bahasa Indonesia, tapi juga penonton pertama yang beruntung menyaksikan pertunjukan hati mereka.
Kadang, tugas sekolah hanyalah awal. Hal yang tak terduga adalah ketika tugas itu berubah menjadi panggung curhat tempat kata-kata bertemu emosi, dan emosi bertemu pembaca.
Beberapa link karya anak-anak: