"Kau tahu kan apa artinya menuntut ilmu? Menuntut ilmu itu sekolah, belajar yang rajin. Kalau perlu kau sekolah sampai jauh, merantau ke Medan atau Jawa sana. Lebih hebat lagi kalau sampai ke negeri seberang."
"Sekolah memang capek. Tapi jangan kau pikirkan capeknya. Gembirakan hatimu waktu belajar. Insya Allah tak capeknya itu. Lebih capek lagi ayah dulu. Berkali lipat lagi jauhnya sekolah Ayah daripada sekolahmu sekarang. Naik turun gunung, lewat hutan pula. Udah gitu, guru pas zaman perang dulu tak selalu mengajar. Kadang gurunya ikut bergerilya melawan Belanda. Macam mana mau sekolah? Tak ada yang mengajar..."
Dari sekian banyak fragmen, saya mencoba membaginya dalam dua bagian besar: masa sebelum merantau ke Jogja dan masa kuliah di UGM hingga sambutan meriah di kampung. Saya lebih menyukai bagian pertama yang mencakup lebih dari separuh halaman buku lantaran cerita-ceritanya lebih menarik. Terutama pada aksi-aksi lucu, sedikit nakal, dan lugu khas anak-anak di kampung. Pengalaman Amir bersama teman-temannya berhasil menyeret ingatan saya pada masa kecil.
Namun karena format buku ini adalah sebagian besar penuturan orang lain, penulis mungkin sedikit lupa pada konteks. Contohnya pada bab Mari Bertinju:
Kufokuskan pikiran untuk mengalahkan Soleh. Pertama-tama, dengan gaya Muhammad Ali idolaku, kakiku bergerak maju mundur dengan agak melompat, mirip ulat tersiram air garam.
Dari keterangan yang ada, kejadian bermain tinju itu saat kelas 4 SR yang berarti sekitar pertengahan 50-an. Sedangkan Muhammad Ali baru melakukan debut pertama di ring tinju profesional pada 29 Oktober 1960. Meski hanya kalimat analogi gaya bertinju, tapi sedikit mengganggu bila ada ketidaktepatan konteks dalam suatu narasi.
Boleh jadi kita bosan dengan ungkapan setiap kesusahan pasti ada manfaatnya. Namun dari buku ini kita bisa belajar memahami bahwa memandang hidup jangan hanya dari kepingan-kepingan peristiwa (yang kita anggap) kesusahan dalam hidup. Amir kecil saat sepatunya rusak dijanjikan Ayah sepatu lain sebagai pengganti. Tentu anggapan Amir dia akan dibelikan sepatu baru. Namun ternyata sampai di tukang sepatu hanya sepatu bekas ayahnya yang diperbaiki. Ketika Amir mengeluh longgar Ayah menjawab santai, itu kan bisa disumpal depannya. Bagi saya ini simetris dengan kejadian Amir dewasa saat mau masuk perguruan tinggi. Harapan untuk kuliah di Fakultas Tekhik tidak bisa tercapai lantaran ada berkas yang belum dikirim. Kemudian Amir masuk Fakultas Psikologi yang menurutnya waktu itu pelajaran tentang ilmu bumi. Tanpa sadar, di sini Amir telah belajar dari Ayah tentang pepatah tak ada kayu rotan pun jadi.
Betapa pun, buku setebal173 halaman tidak akan mampu merekam keseluruhan peristiwa. Namun bila maksud penulis untuk persembahan agar nama ayah dan kakeknya abadi, buku ini telah melakukan tugasnya degan baik. Sebagai bonus, secara keseluruhan buku ini menyadarkan kita, apa tugas utama hidup di dunia ini layaknya perintah Tuhan yang saya kutip di awal tulisan. Andai semua orang melakukan tugasnya dengan baik, kehidupan masyarakat pasti lebih bermartabat. Wallahua`lam..
***
Jakarta, 20 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H