Mohon tunggu...
Bela Intan
Bela Intan Mohon Tunggu... mahasiswa

tetap jadi diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Nature

Revolusi Pertanian Skala Kecil: Penanam Jagung Sebagai Jawabannya

19 Juli 2025   22:52 Diperbarui: 19 Juli 2025   22:52 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       

        Surabaya, 22 juli 2025 - Di tengah gencarnya narasi modernisasi pertanian, masih banyak petani di pedesaan Indonesia yang bergulat dengan cara tanam konvensional. Mereka membungkuk selama berjam jam untuk menanam benih jagung satu per satu, menggali lubang dengan tangan atau alat seadanya, menabur benih, dan menutup kembali tanahnya. Proses ini dilakukan secara berulang dan memakan banyak waktu serta tenaga. Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana meningkatkan efisiensi kerja petani tanpa harus bergantung pada mesin berat berbiaya tinggi? 

         Jawabannya bisa jadi sesederhana alat penanam jagung manual (corn seeder), yang kini mulai diperkenalkan di berbagai daerah melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) berbasis teknologi tepat guna. Inovasi ini bukanlah terobosan yang megah, namun memiliki dampak signifikan dalam kehidupan para petani kecil. Alat ini di rancang untuk mempermudah proses penanam dengan sistem mekanik sederhana: cukup ditancapkan ke tanah, benih dimasukkan, dan dengan satu gerakan tuas, benih tertanam sekaligus tanah menutupinya kembali. 

         Mengapa alat ini penting? Karena efisiensi bukan sekadar persoalan waktu, tetapi juga soal kesehatan petani dan keberlanjutan tenaga kerja. Tak sedikit petani lansia yang masih mengandalkan otot dan punggungnya untuk bertani. Dengan alat penanam seperti ini, mereka tak perlu lagi membungkuk terus-menerus, mengurangi risiko nyeri punggung dan kelelahan kronis. Efisiensi waktu juga memberi ruang untuk aktivitas produktif lainnya, seperti perawatan tanaman, pencarian pupuk organik, atau bahkan istirahat yang layak.

          Pengalaman kami di lapangan membuktikan bahwa inovasi sederhana ini diterima dengan antusias. Di Dusun wringinanom, Desa Simbaringin tempat kami melaksanakan program KKN, para petani langsung mencoba alat ini di lahan mereka. Hasilnya luar biasa, waktu tanam berkurang hampir. separuhnya. Salah satu petani menyebutnya sebagai "alat penyelamat musim hujan", karena kini mereka bisa mengejar waktu tanam sebelum curah hujan tak menentu datang.

          Namun, tantangan berikutnya adalah bagaimana inovasi ini bisa diperluas dan berkelanjutan. Banyak inovasi mahasiswa yang hanya berumur sependek masa KKN datang, memberi solusi, lalu hilang bersama kepulangan tim. Untuk itu, pendekatan partisipatif sangat penting. Inovasi ini kami buat dengan tim KKN, menggunakan material lokal, serta disertai pelatihan dan panduan tertulis agar masyarakat bisa memperbaiki atau mereplikasi alatnya sendiri. Di sinilah peran universitas menjadi krusial, tidak hanya sebagai pemberi ilmu, tetapi juga sebagai fasilitator perubahan sosial.

         Pemerintah daerah pun seharusnya mulai membuka mata terhadap potensi inovasi kecil seperti ini. Anggaran pertanian tidak melulu harus diarahkan pada bantuan pupuk atau alat besar yang jarang cocok untuk petani kecil. Mendukung teknologi tepat guna hasil karya anak muda apalagi yang murah dan efisien bisa menjadi langkah revolusioner yang sering diabaikan. Apalagi, alat ini membuka peluang regenerasi petani. Anak-anak muda yang sebelumnya enggan turun ke sawah kini mulai tertarik karena prosesnya tidak lagi berat dan merepotkan. Ada daya tarik tersendiri ketika pertanian terasa lebih modern dan efisien, walau tetap berbasis lokal. 

         Singkatnya, inovasi alat penanam jagung adalah contoh konkret bahwa teknologi tak harus rumit untuk membawa perubahan. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mendengarkan suara petani, memahami kesulitan mereka, lalu menghadirkan solusi yang realistis, terjangkau, dan mudah diadopsi. Saat kita bicara soal ketahanan pangan nasional, kita tak bisa mengabaikan kenyataan di lapangan. Petani kita bukan mesin. Mereka butuh alat bantu yang manusiawi, bukan sekadar slogan "modernisasi pertanian" tanpa aksi nyata. Dengan alat sederhana ini, kita tidak hanya menanam jagung kita menanam efisiensi, martabat, dan masa depan pertanian Indonesia.

Dosen Pembimbing Lapangan:

Fiky Two Nando, S.T., M.T

NIDN: 1012211912

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun