Mohon tunggu...
Bekti Sawiji
Bekti Sawiji Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis musiman.

Menaruh minat terhadap cerita digital (digital storytelling), cara baru bercerita menggunakan teknologi modern. Memiliki website: www.ceritadigital.com yang memuat cerita digital bidang sosial dan pendidikan hasil workshop dan hasil karya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Umur 7 Tahun Jualan Es

13 April 2010   04:30 Diperbarui: 3 November 2018   15:06 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbagai kisah kerja pertama yang saya baca cukup menyenangkan kadang pula bikin haru. Berikut ini adalah pengalaman pribadi saya yang berkaitan dengan pekerjaan yang pertama kali saya jalani. Saya sering menceritakan ini kepada anak-anak yang membutuhkan cerita pengalaman-pengalaman. Saya berfikir bahwa bila sekarang ada anak yang bernasib seperti saya dahulu, dia tidak akan merasa rendah diri setelah mendengar kisah hidup saya. WAKTU BERMAIN TERSITA Saya dilahirkan dalam keluarga yang "kurang beruntung" secara ekonomi. Ketidakberuntungan itu saya syukuri belakangan ini. Seingat saya tahun 1979an keluarga kami (ayah, ibu, kakak tiri, kakak kandung, dan saya) hidup menumpang pada sebuah keluarga di Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Lokasi itu tepat di kaki Gunung Semeru, di mana nyaris setiap hari saya mendengarkan "musik" gemuruhnya Si Gunung. Dalam kurub waktu sekitar dua tahun, kami berpindah 3 kali. Semuanya menumpang. Ayah saya penjaja obat keliling sedangkan ibu menganggur. Tahun 1981an kami berpindah ke Kecamatan Pasirian (20 km selatan Kota Lumajang). Di situ kami sekali lagi hidup menumpang di rumah seorang pesuruh Sekolah Dasar. Tak lama kemudian mungkin ayah mendapat Rezeki sehingga mampu menyewa sebuah rumah bambu kecil berkamar satu (untuk tidak mengatakan gubuk) di tepi sawah dekat sungai. Oh ya kakak tiri saya tidak lagi ikut bersama kami karena suatu hari dia dijemput ibunya (mantan istri ayah). Saya masuk SD kelas 1 sementara kakak saya sudah kelas 4. Di rumah kontrakan tersebut kami hanya setahun. Saya tidak mengerti apa yang terjadi waktu itu kok tiba-tiba kami berpindah kontrakan. Yang saya ingat hari itu genting rumah kami diturunkan seperti hendak dibongkar. Belakangan saya tahu kalau kami saat itu diusir oleh pemilik rumah karena kontrak sudah jatuh tempo sementara ayah tak kunjung mendapat kontrakan baru. (Maaf, saya jadi gemas mendengar cerita itu). Alhamdulillah, kami mendapat rumah kontrakan baru yang "lebih besar" di dusun tetangga. Di rumah ini saya sudah kelas 2. Di rumah ini pula saya memulai "karier" saya. Mulanya ibu mengajak saya berjualan es manisan yang diwadahi dalam termos. Eh... tak lama ibu merayu saya agar saya membawa termos itu sendirian dan menjajakannya. Saya tidak punya pilihan. Yah... saya "berprofesi" sebagai penjual es manisan. Dalam termos kecil itu saya selalu membawa 25 buah es manisan seharga @ Rp. 25. Sehingga kalau es tersebut terjual habis saya akan mengantongi Rp. 625 dan disetorkan Rp. 500. Sehingga "take home pay" saya Rp. 125. Kadang lebih kalau juragan es saya memberi bonus 1 atau 2 buah es manisan. Saya berjalan menyusuri kampung sambil meneriakkan es dagangan saya. "Maaaanisaaaannnn....!!!" begitu "trademark" teriakan saya. Kagiatan ini saya lakukan sepulang sekolah di mana anak-anak seusia saya sedang asyik bermain. Praktis waktu bermain saya tersita. Oh ya kakak saya mencari dan menjual sekam (kulit gabah kering) untuk bahan bakar dapur. BUKAN UNTUK UANG SAKU Penghasilan saya tersebut (oh ya waktu itu harga beras sekitar Rp. 250, jadi Rp. 125 setara dengan 0,5 kg beras) langsung saya setorkan ke "kas keluarga". Tak serupiahpun yang saya tilap. Uang tersebut turut membuat asap dapur tetap mengepul. Keesokan paginya saya bersekolah dengan uang saku yang tidak pernah lebih dari Rp. 25 (cukup untuk membeli krupuk 5 buah plus sambal, minuman orson, dan permen).  Sebagai gambaran, uang saku teman-teman minimal Rp. 50. Anehnya (atau mungkin bodohnya) saya tidak pernah protes. Uang yang saya peroleh ternyata bukan untuk uang saku saya. Saya sebagai "profesional" muda, tetaplah anak yang belia, anak yang ingin berbahagia seperti teman-teman yang lain. Suatu hari saya malas untuk berjualan karena ingin bermain bersama teman-teman. Ibu tetap memaksa saya agar berjualan. Lalu bagaimana? Dengan perasaan jengkel dan marah saya ambil termos (rupanya ibu juga tahu kalau saya marah tapi membiarkan saja) dan pergilah saya berjualan. Kali ini saya melakukan "aksi protes". Saya mogok teriak. Tak ada lagi teriakan, "Maaanisaaaannn...!!!". Saya ingin tunjukkan bahwa saya sedang marah. Dengan diam resiko es tidak terjual besar. Wal hasil, ketika saya sampai di pom bensin, tempat saya mangkal, tak satupun es yang terjual. Sesampai di rumah es masih tersisa banyak. Begitulah saya jalani masa-masa keras kehidupan saya. Tetapi itu baru permulaan atau episode pertama. Bermacam-macam "profesi" saya jalani setelah jualan es ini. Saya berencana menuliskan lanjutan cerita kisah saya ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun