Bacaan  Selasa,  28 September 2021
Luk 9:51 Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem, 52 dan Ia mengirim beberapa utusan mendahului Dia. Mereka itu pergi, lalu masuk ke suatu desa orang Samaria untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya. 53 Tetapi orang-orang Samaria itu tidak mau menerima Dia, karena perjalanan-Nya menuju Yerusalem. 54 Ketika dua murid-Nya, yaitu Yakobus dan Yohanes, melihat hal itu, mereka berkata: "Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?" 55 Akan tetapi Ia berpaling dan menegor mereka. 56 Lalu mereka pergi ke desa yang lain.
Renungan
"Kemropok", "anyel", "wirang", jengkel, kecewa, malu, bingung,  sakit hati, marah terakumulasi menyatu menjadikan seorang dokter gelap mata membabi buta membumihanguskan bengkel pacar yang  dilarang menikahinya. Sedang hamil muda, dokter yang bakar bengkel hingga tewaskan pacarnya ini dapat penanganan khusus. (lih. Kompas.com).
 Suasana kejiwaan seperti itu menjadi konteks bacaan Injil hari ini. Bukan karena soal kehamilan, melainkan soal jalan pembungkaman dan kekerasan yang murid-murid Yesus lakukan. Dalam bacaan kemarin, dikisahkan para murid ditegurNya, karena mereka mencegah seorang di luar kelompoknya berhasil mengusir setan dalam nama Yesus. Sedangkan murid-murid-Nya pada gagal mengusirnya.Â
Malu, iri hati, jengkel marah mendorong murid-murid-Nya membungkam pengusir setan tersebut. Bacaan Injil hari ini menarasikan murid-murid Yesus meminta izin membumihanguskan Samaria, yang menolak-Nya. Yesus mengoreksi sikap, perilaku, tutur kata. tindakan dan pilihan jalan kekerasan murid-murid-Nya. Malu lagi deh. Jalan kekerasan bukanlah jalan kebenaran. Jalan yang bertentangan dengan kekristenan dan kemurahhatian-Nya.
Selanjutnya dikisahkan ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem. Yerusalem, tempat penderitaan dan kematian-Nya merupakan resiko pilihan jalan kebenaran dan kehidupan-Nya, yang siap dirangkul dan dipeluk-Nya. Â
Yesus tidak lari, tidak menghindar  dari konsekuensi pilihan-Nya. Yesus tampil di depan publik, tanpa takut, dengan berani pandangan-Nya tertuju ke Yerusalem, tempat Ia akan ditinggikan di salib dan kemuliaan Paskah akan mengikuti. Berhadapan dengan Yerusalem, murid-murid-Nya mesti memiliki frekuensi gelombang yang sama dengan-Nya.  Pola pikir dan sudut pandang mereka tidak boleh berbeda. Resiko pilihan hidup-Nya  adalah salib. Sehingga ketika tiba saat-Nya,  mereka mesti menyambut-Nya dengan kepala tegak. Mantaps. Â
Namun sebelum menuju Yerusalem, Yesus mengirim beberapa utusan mendahului-Nya. Mereka pergi ke suatu desa orang Samaria untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya. Ternyata orang-orang Samaria  menolak-Nya, karena mengetahui perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Yesus yang dikenal sebagai guru idola orang banyak, ternyata memilih mengakui Bait Allah di Yerusalem. Mereka tidak senang dan  berharap Yesus datang  beribadah di Bait Allah milik mereka.
Sikap tidak simpatik dan menolak orang-orang Samaria itu sejatinya menjadi sikap dasar yang akan selalu dijumpai Yesus dan murid-murid-Nya sepanjang kehidupan. Sejak kanak-kanak di Betlekem sudah tidak ada tempat bagi-Nya, hingga di Yerusalem penolakanterhadap-Nya mencapai puncak yaitu penyaliban. Â
Sejak dini murid-murid-Nya telah disiapkan agar mereka menerima setiap sikap alergi, antipati dan penolakan sebagai resiko pilihan hidup kekeristenan.  Iklimisasi yang  belum sepenuhnya berhasil tertanam dalam diri mereka. Ini nampak dari  pilihan sikap kedua murid-Nya, Yakobus dan Yohanes.