Mohon tunggu...
B Budi Windarto
B Budi Windarto Mohon Tunggu... Guru - Pensiunan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lahir di Klaten 24 Agustus 1955,.Tamat SD 1967.Tamat SMP1970.Tamat SPG 1973.Tamat Akademi 1977

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengampuni Tanpa Membatasi!

5 Agustus 2021   09:25 Diperbarui: 5 Agustus 2021   09:40 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selama setahun terakhir belajar di Sekolah Pendidikan Guru, setingkat SMA/SMK, seorang guru sudah lebih dari tujuh puluh kali melecehkan, merendahkan, membuly, menyakitkan dan melukai hati. Rasanya kalimat "Tiada maaf bagimu!" layak dan pantas diucapkan. 

Sampai batas tertentu seakan dibenarkan jika mengambil keputusan untuk tidak memaafkan dan mengampuni. Cukup sudah pengampunan. Tiada lagi maaf. Pengampunan dan maaf, habis sudah dari pergudangan. Pembenaraan diri agar siappun  memaklumi segala sesuatu ada batasnya. Kesabaran ada batasnya. Pengampunan juga ada batasnya.

Bacaan Injil  hari ini menarasikan pandangan dan sikap seperti itu. Kepada Yesus,  Petrus bertanya. "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? 

Sampai tujuh kali?" Jawab Yesus : "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali" Yesus mengajarkan pengampunan tanpa batas. Siapa yang jadi teladan pengampunan?

Hal Kerajaan Sorga, "gathuk"-nya, sambungnya, Allah dengan manusia dan manusia dengan sesama seumpama seorang raja yang mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Jumlah hutang yang amat banyak, seperti Rp 2 triliun tak terbayangkan.

 Gaji utuh saya seumur hidup jika dikumpulkan tidak akan mencapai sejumlah itu. Jika saya yang berhutang, pasti akan seperti hamba itu, tidak mampu melunasinya. Demi keadilan, Raja mengikuti hukum yang berlaku. Ia memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. 

Sujudlah hamba itu menyembah "Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan". Tergeraklah hati raja oleh belas kasihan sehingga ia membebaskan dan menghapuskan hutangnya. Belas kasih raja seperti belas kasih ibu di mana dengan rahimnya selama sembilan bulanan ia telah mengandung janin dan anak bayinya. 

Demikianlah raja, ia tetap punya hati untuk anaknya yang sudah tak terhitung jumlahnya bikin kejengkelan dan melukai hati emasnya. Nah raja ini, Tuhan Allah sendirilah yang jadi teladan pengampunan.

Pengalaman diampuni Allah yang berbelas kasih merupakan dasar terkuat untuk mengampuni sesamanya yang jahat. Hamba yang sudah dibebaskan hutangnya yang fantastis itu, rupanya tidak mengalami pelunasan hutangnya sebagai pengalaman kasih. Ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. 

Jumlah hutang yang tidak sebanding dengan hutangnya terhadap raja. Ibarat hanya berhutang dua juta rupiah, ia berlaku kejam. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, "Bayar hutangmu!" Sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: "Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan". 

Seperti bercermin, ia melihat dirinya sendiri dengan pilihan yang persis sama seperti telah ia buat saat menghadap raja. Namun ia gagal bersikap seperti raja. Ia tidak mencerminkan sikap raja. Ia memilih menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun