Sekalipun saat berkarya Yesus membatasi diri bagi bangsa Yahudi, namun toh Yesus membuka diri juga bagi perempuan kafir. Dengan kisah ini, dibukalah wawasan bahwa dapat terjadi ada  orang sekalipun dicap kafir, kualitas imannya dapat melebihi iman mereka kaum agamawan yang suka mengkafir-kafirkan. Ternyata iman murid-murid Yesus yang senantiasa bersama-Nya, tidak sebesar kualitas iman perempuan Kanaan yang pernah  mereka coba usir, karena kafir.
Apa yang dapat dipetik dari permenungan ini? Bagaimana kehidupan diri? Bersikap arogankah, memandang diri paling benar dengan agama paling benar, merendahkan, menajiskan, menganjing babikan, menutup hati, relasi, mendiskriminasi, membully dan mempersekusi mereka yang beda? Di manakah posisi diri ini berdiri, lebih sebagai beragama atau beriman? Berdampak apakah kehadiran diri bagi liyan : penyembuhan, pemulihan, perbaikan, penyehatan, perdamaian, persaudaraan, persahabatan, normalisasi, rehabilitasi, rekonstruksi, rekonsiliasi, sukacita ataukah yang bertolak belakang dengan itu semua?
Yang berkualitas imannya, hidup benar sebagai manusia benar dengan Allah benar yang esa, kuasa dan kasih-Nya tanpa batas. Hidup penuh syukur,  sukacita,  semangat,  jadi berkat, pada saat untung dan malang, suka dan duka, sehat maupun sakit.  Ini  misteri. Beriman sejati.