Enam mahasiswa Universitas Udayana (Unud) dipecat dari seluruh jabatan organisasi kampus karena mencemooh korban bunuh diri. Bukan hanya disayangkan, tindakan mereka adalah bukti nyata bahwa empati makin langka di tengah generasi yang katanya "melek isu mental health". Ironisnya, yang bersangkutan adalah para pengurus organisasi mahasiswa---mereka yang seharusnya jadi contoh, bukan malah jadi masalah.
Banyak yang menganggap komentar di internet cuma angin lalu. Tapi nyatanya, ucapan digital bisa menghancurkan hidup bukan hanya korban, tapi juga pelakunya sendiri. Keputusan tegas dari DPM FISIP dan BEM FKP ini penting, bukan hanya sebagai sanksi, tapi juga sebagai pesan keras: etika itu bukan sekadar pelengkap, tapi fondasi dari kepemimpinan.
Apakah ini terlalu keras? Tidak juga. Jika seseorang sudah memegang jabatan publik di kampus, maka mereka harus siap dikawal dan dievaluasi, termasuk secara moral. Cemoohan terhadap orang yang sedang atau sudah kehilangan nyawa bukan hanya tidak etis---itu kejam. Dan kejam bukan sifat pemimpin yang baik.
Tragedi ini juga membuka diskusi lebih luas soal budaya bercanda yang kelewat batas. Kampus harus menjadi ruang aman bagi semua, termasuk mereka yang sedang berjuang dengan kesehatan mental. Jika mahasiswa yang berorganisasi saja tak bisa menunjukkan empati, maka apa bedanya mereka dengan netizen toxic?
Akhir kata, semoga ini jadi pelajaran penting. Bukan hanya bagi enam mahasiswa tersebut, tapi bagi seluruh kita yang masih suka menganggap remeh kata-kata. Karena dalam dunia yang sudah cukup keras ini, kalimat bisa jadi senjata---atau pelukan. Tinggal kita pilih, mau pakai yang mana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI