Kita hidup di era ketika popularitas bisa datang secepat notifikasi di layar ponsel. Setiap orang berlomba menjadi viral melalui video lucu, opini tajam, atau sensasi sesaat yang mampu memancing ribuan komentar. Namun di tengah hiruk-pikuk algoritma yang lapar perhatian, banyak yang lupa bertanya pada diri sendiri: setelah viral, apa yang ingin dicapai?
Viral kini seolah menjadi tolak ukur kesuksesan baru. Di balik setiap trending topic, sering kali tidak ada arah yang jelas. Banyak yang sibuk membangun persona digital, tetapi perlahan kehilangan jati diri yang sebenarnya.
Ukuran keberhasilan bergeser, bukan lagi tentang apa yang kita hasilkan, melainkan seberapa banyak orang yang melihatnya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di dunia hiburan, tetapi juga merambah politik, bisnis, hingga aktivisme social semuanya berlomba menjadi yang paling "terlihat", bukan yang paling "bermakna."
Masalahnya, popularitas bersifat sementara. Algoritma mudah berubah, dan perhatian publik cepat berpindah. Hari ini seseorang bisa menjadi pusat perbincangan, besok dilupakan begitu saja atau lebih buruk. Dalam siklus yang cepat dan tidak menentu ini, banyak orang kehilangan arah, lupa alasan awal mereka berkarya, dan akhirnya hidup hanya untuk mengejar validasi digital yang tak pernah benar-benar cukup.
Menjadi relevan memang penting, tetapi menjadi autentik jauh lebih bernilai. Di tengah dunia yang bising oleh upaya untuk terlihat, mereka yang memahami jati dirinya sendiri dan tidak sekadar ingin viral adalah yang akan benar-benar bertahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI