Mohon tunggu...
Bayu Iskandar
Bayu Iskandar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca, Mengubah dari yang Tak Biasa Menjadi Budaya

12 Oktober 2017   22:08 Diperbarui: 12 Oktober 2017   22:41 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Buku adalah jendela dunia" slogan ini adalah slogan yang selalu ada pada buku yang saya baca pada waktu SD dulu. Tepatnya saat membaca adalah salah satu sumber utama untuk mengetahui sesuatu yang baru, bahkan pengisi waktu. Dewasa ini budaya membaca buku tidaklah hilang, hanya saja opsi yang ditawarkan menjadi lebih banyak. Contohnya untuk mendapat berita, kita sekarang tidak hanya dengan membaca koran, ada pilihan lain seperti mendengarkan radio, membaca dari media daring, melihat televisi, dan masih banyak yang lain. Begitu juga dengan kebiasaan membaca, lebih banyak pilihan yang bisa diambil, bahkan kita sekarang bisa membaca buku tanpa memegang bukunya, karena sekarang sudah ada e-bookyang bisa diakses dari perangkat telepon genggam/smartphone.

Seiring dengan majunya zaman, telepon genggam yang dahulu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang berada, sekarang bisa dimiliki oleh anak-anak, bahkan tak jarang telepon genggam si anak lebih canggih dari milik orang tuanya. Kenyataan tersedianya media dan kemudahan akses, memunculkan lebih banyak pilihan yang bersifat penggoda, seperti game, youtube,dan media sosial. Coba sekarang kita bandingkan saja, berapa aplikasi membaca pada telepon genggam anak-anak sekarang (atau bahkan pada telepon genggam kita sendiri) dibandingkan dengan aplikasi game, youtube,dan media sosial?

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Artinya untuk membentuk sebuah budaya diperlukan waktu yang lama, bukan hanya sekejap mata. Begitu pula dengan membaca, untuk menjadi sebuah budaya, maka harus dibiasakan sejak dari kecil dengan memberikan panutan dari generasi sebelumnya, artinya kita juga punya peran memberi contoh. Siapakah "kita" yang dimaksud disini? Semua elemen yang ada di lingkup kehidupan si anak, mulai dari orang tua, guru, dan lingkungannya.

Mengapa harus membaca? Menurut Taufiq Pasiak, dokter ahli otak dan tengkorak penulis buku "Revolusi IQ/EQ/SQ dan Management Otak" membaca dapat mengolahragakan otak. Sama halnya dengan otot--otot dalam  tubuh, otak juga membutuhkan latihan agar tetap sehat dan kuat. Penelitian menunjukkan bahwa menstimulasi otak dengan cara membaca dapat memperlambat, bahkan mencegah penyakit Alzheimer dan Dimensia atau pikun. Karena  membaca  akan meningkatkan daya ingat. Selain itu membaca juga dapat meningkatkan fokus. Pada saat membaca buku otak kita lebih fokus pada apa yang dibaca. Hal ini akan melatih kita untuk dapat fokus dalam melakukan berbagai macam kegiatan atau rutinitas keseharian yang lain.

Manfaat tambahan untuk anak-anak, diantaranya juga bisa untuk menumbuhkan karakter dan budi pekerti yang baik. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh New York University menunjukkan bahwa membaca dapat meningkatkan kemampuan untuk memahami perasaan orang lain atau berempati pada orang lain. Sehingga dapat meningkatkan kualitas hubungan yang lebih baik dengan orang sekitarnya. 

Hal ini sangat penting untuk membangun karakter anak, tentunya dengan bimbingan orang tua dan bacaan yang sudah dipilih. Contohnya jika anak membaca cerita Malin Kundang, maka anak akan mengerti bahwa apa yang dilakukan Malin Kundang itu tidak baik, akan tertanam dalam perilakunya bahwa tidak boleh mencontoh perilaku Malin Kundang. Hikmah--hikmah dari sumber bacaan seperti ini akan membangun persepsi berpikir anak yang nantinya akan mengendap di otak bawah sadar dan melahirkan perilaku atau karakter.

Keadaan Budaya Baca di Indonesia

Pada saat saya mencari data mengenai budaya baca di Indonesia, jujur saya miris setelah menemukan dan membacanya. Menurut data dari The Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52 negara di Asia. Dari dalam negeri sendiri, BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2006 menyampaikan informasi bahwa membaca ternyata belum menjadi kegiatan utama masyarakat dalam mendapatkan informasi. Hal ini didukung oleh data 85,9 % orang lebih memilih menonton TV, 40,3 % mendengarkan radio dan hanya 23,5 % yang membaca koran sebagai sumber informasi.

Menurut penelitian yang lain, IEA (International Education Achiecment)  melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD di Indonesia berada pada urutan 38 dari 39 negara yang disurvey. Sedangkan survey dari UNESCO minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Ini artinya dari 1000 masyarakat Indonesia baru 1 orang yang memiliki minat baca.

Paling baru, tahun 2016 yang lalu, berdasarkan studi "Most Littered Nation in the Word" yang dilakukan oleh Central Connecticut State University menyatakan berkaitan dengan minat membaca, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara yang disurvey.  Indonesia tepat berada satu tingkat dibawah Thailand yang menduduki urutan ke 59 dan berada satu tingkat di atas negara Bostwana yang menduduki urutan ke 61. Padahal untuk infrastruktur yang mendukung kegiatan membaca, Indonesia berada di urutan 34, di atas beberapa negara Eropa seperti Jerman, Portugis, dan Selandia baru. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum optimal dalam memanfaatkan infrastruktur yang ada.

Menilik dari data dan fakta tersebut, tidak heran Pemerintah kita mulai menggenjot budaya membaca atau literasi, melalui Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2015 tentang wajib Penumbuhan Budi Pekerti melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS).  Pada tahap pembiasaan harus ada kegiatan membaca buku non pelajaran selama lima belas menit sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun