Mohon tunggu...
Bayu Ali maskhur
Bayu Ali maskhur Mohon Tunggu... Mahasiswa

Nama saya Bayu Ali Maskhur, saya adalah mahasiwa UIN Walisongo hobi saya adalah olahraga sepeti joging dan lain nya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi di Bayang - Bayangi Moralitas Publik: Ancaman Bagi Intergritas Bangsa

18 Oktober 2025   16:15 Diperbarui: 18 Oktober 2025   16:10 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi di Bayang-Bayangi Moralitas Publik: Ancaman Bagi Integrasi Bangsa

Latar belakang

Dalam era digital dan globalisasi yang semakin cepat, kasus korupsi semakin terekspos secara terang terangan dan korupsi bukan lagi sekedar pelanggaran hukum, melainkan sebuah penyakit sosial yang menggerogoti moralitas publik dan kepercayaan masyarakat terhadap negara ini. Bayangkan disebuah negara para pemimpin yang seharusnya dijadikan panutan malah terlibat dalam lubang hitam yang merugikan rakyat, ini yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia. Korupsi sebagai fenomena yang melibatkan penyalahgunaan kekuasan untuk kepentingan pribadi seperti memperkaya diri, telah menjadi masalah krusial karena menghambat pembangunan ekonomi, memperlebar kesenjangan sosial, dan merusak nilai-nilai kebangsaan. Menurut Transparency international (2022), Indonesia berada pada peringkat 110 dari 180 negara dalam dalam pemimpin yang terjerat kasus korupsi, dengan skor 34 dari 100, yang menunjukan tingkat korupsi yang masih tinggi dan mempengaruhi kepercayaan publik.

Isu ini menjadi penting karena korupsi tidak hanya menciptakan masalah keuangan yang menjadi kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun, tetapi juga mengikis persepsi atau pendapat  masyarakat  tentang pemerintah atau jabatan yang diemban dalam lingkup pemerintahan tentang tindakan yang mereka lakukan itu benar dan salah. Di Indonesia, korupsi mejadi bentuk kegagalan negara dalam melindungi Pancasila dan prinsip dasar negara. Jika hal ini terus berlanjut, masyarakat dapat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, meningkatkan potensi masalah sosial seperti timbunya kejahatan yang tidak bisa dipungkiri karena tindakan korupsi salah satunya membunuh atau melakukan Tindakan asusila lainnya, dan menghambat pencapaian tujuan negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Oleh karena itu, memahami korupsi dengan melihat masyarakat dan apa artinya menjadi warga negara yang baik merupakan langkah awal dalam menemukan jawaban,  dan memastikan bahwa apa yang diyakini masyarakat tentang Pancasila sebagai benar dan salah menjadi landasan yang kuat bagi negara untuk berkembang. Selain itu, perubahan sistem hukum seperti menjadikan KPK lebih independent, kuat dan menggunakan perangkat digital untuk memperjelas anggaran seperti pembelian daring bisa menjadi solusi nyata. Anggapan tentang benar dan salah yang dianut masyarakat seharusnya menjadi landasan utama bagi negara untuk berkembang, dengan setiap orang merasa wajib melaporkan tindakan yang salah dan meminta pertanggungjawaban para pemimpin. Oleh karena itu, korupsi dapat ditangani secara tuntas, memastikan Indonesia tumbuh tidak hanya dalam hal uang, tetapi juga kuat dalam hal perilaku baik dan kepercayaan masyarakat.

Isi/Argumen Utama

Contoh yang saya ambil atau saya pilih untuk dibahas adalah isu korupsi seputar e-KTP di Indonesia, yang merupakan salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi dinegara ini. Proyek e-KTP ini, yang dimulai pada tahun 2011 dengan anggaran sekitar kurang lebih Rp 5,9 triliun, awalnya ditujukan untuk memperbarui cara penanganan masalah kependudukan dan membuat layanan publik berjalan lebih baik. Namun, pada kenyataannya proyek ini penuh dengan tipu tipu atau penggelapan uang dengan mengkorupsi uang untuk kepentingan pribadi, setelah dilakukan penyelidikan oleh pihak KPK pada tahun 2017 menunjukkan bahwa negara kehilangan sekitar Rp 2,3 triliun karena harga yang melambung, pasokan palsu, dan suap yang melibatkan 36 tersangka, termasuk anggota parlemen dan pejabat tinggi. Menurut laporan Transparency International pada tahun 2020, kasus ini menunjukkan pola korupsi yang sangat luas di Indonesia, di mana 70% kasus korupsi melibatkan pegawai pemerintah dan perusahaan swasta.
Jika dilihat dari pemikiran masyarakat, situasi e-KTP dapat dipahami menggunakan konsep anomie dari Emile Durkheim, yang menunjukkan bagaimana ketidaksesuaian antara harapan masyarakat dan kenyataan sehari-hari yang dapat berujung pada tindakan buruk seperti korupsi. Terjadi perubahan cepat dari masyarakat Indonesia yang berbasis pertanian ke masyarakat moderen telah menyebabkan anomie, di mana nilai-nilai lama seperti kejujuran dan saling membantu dilemahkan oleh tuntutan pemikiran yang berfokus pada uang dan egois. Seperti Robert Merton yang mengakatakan dalam teori ketegangannya, orang-orang yang berkuasa merasa tertekan untuk menjadi kaya dengan cara-cara yang tidak jujur karena sistem yang tidak adil, seperti gaji pejabat yang tidak memadai dan segala sesuatunya tidak terbuka dan transparan. Dalam kasus e-KTP, para pelaku korupsi, kebanyakan mereka yang sudah berkecukupan, justru memanfaatkan posisi mereka untuk menguntungkan diri sendiri, yang pada akhirnya memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin serta memperburuk persepsi publik tentang benar dan salah.
Kasus ini juga harus berkaitan dengan gagasan yang dipelajari dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Pancasila, sebagai dasar negara, menekankan pada lima prinsip yang seharusnya membentuk moral public atau masyarakat umum: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kasus e-KTP jelas bertentangan dengan sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) karena korupsi merampas banyak hak dasar rakyat atas pelayanan publik yang jujur dan adil. Informasi dari survei Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2019) menunjukkan sekitar 65% responden meyakini korupsi e-KTP telah membuat mereka kurang percaya kepada pemerintah, yang berdampak pada sila ketiga (Persatuan Indonesia) karena menimbulkan perpecahan di masyarakat.

Di negara kita, sepeeti korupsi e-KTP menunjukkan masalah yang lebih besar bagi masyarakat kita terhadap rasa percaya pada pemerintah. Menurut pandangan sosiologis Pierre Bourdieu, korupsi adalah sejenis kapitalisme simbolis di mana kekuasaan digunakan untuk mempertahankan kekuasaan kelompok penguasa. Di Indonesia dalam hal ini terlihat dari bagaimana hubungan antara pemimpin dan pemilik bisnis menjaga keadaan tetap seperti apa adanya, serta tidak menyalahgunakan kekuasaan seperti dalam kasus e-KTP di mana penyuapan melibatkan perusahaan asing dan lokal. Kasus ini tidak hanya melukai tapi juga mengurangi rasa percaya serta membuat masyarakat bingung antara benar dan salah, tetapi juga memperlambat  kemajuan negara, sebagaimana dicatat  dalam laporan Bank Dunia (2021) bahwa korupsi di Indonesia menyebabkan hilangnya 1-2% dari total output ekonomi negara setiap tahun. Berkaitan dengan nilai-nilai Kewarganegaraan, korupsi ini bertentangan dengan gagasan kewarganegaraan yang menekankan tanggung jawab sosial dan etika publik. Pancasila mengajarkan bahwa setiap warga negara harus menjadi manusia yang Adil dan Beradab, serta dipimpin oleh Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, tetapi kasus-kasus seperti e-KTP menunjukkan kegagalan dalam menggunakan nilai-nilai ini, yang pada akhirnya mengancam stabilitas bangsa.

Ketika kita melihat kasus e-KTP dari sudut pandang ilmu sosial, hal itu menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya tentang orang-orang yang berbuat salah, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat kita dibentuk, dan hal itu perlu diubah. Gagasan dari Pendidikan Kewarganegaraan, seperti sila kelima (Keadilan Sosial), seharusnya membimbing kita dalam menciptakan rasa benar dan salah yang kuat bagi setiap orang, di mana bersikap terbuka dan bertanggung jawab adalah hal yang wajib dilakukan oleh seluruh rakyat indonesia.


Kesimpulan/Refleksi

Dari sudut pandang saya, korupsi seperti kasus e-KTP bukan hanya masalah sistem, tetapi menunjukkan betapa lemahnya pembelajaran moral di lingkup keluarga, sekolah dan masyarakat kita. Sebagai warga inonesia di sini, saya prihatin terhadap kasus korupsi yang telah menciptakan budaya tidak bertanggung jawab, penghianatan atau tidak setia atau menepati peraturan serta menggiring rasa tidak percaya kepada orang lain, yang mengganggu kehidupan sehari-hari kita. Untuk mengatasinya, ide berbasis komunitas yang saya sarankan adalah meningkatkan pentingnya nilai-nilai Pancasila dengan mengajarkannya di sekolah dan melalui kegiatan-kegiatan publik, seperti pelatihan antikorupsi yang melibatkan kelompok- kelompok lokal. Selain itu, mengubah tata kelola pemerintahan mulai dari perangkat desa sampai pemerintah pusat, seperti menjadikan KPK lebih bebas dan menggunakan perangkat teknologi yang transparan (seperti e-procurement), dapat menurunkan risiko korupsi, seperti yang diungkapkan oleh gagasan Talcott Parsons tentang menyatukan masyarakat.


Sebagai penutup, tulisan ini kembali menekankan betapa pentingnya nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman hidup bermasyarakat, dan sebagai kewajiban sebagai warga negara. Pancasila lebih dari sekadar kata-kata namun Pancasila adalah pedoman, landasan serta cara untuk menjadikan negara kita maju dan berkembang dengan adil dan makmur. Dengan kita menjaga nilai-nilai ini, dapat melawan ketidakjujuran dan membangun masyarakat yang lebih unggul. Seperti kata Presiden Soekarno, "Negara yang besar adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralnya." Jadi, marilah kita mengemban tugas sebagai warga negara dan menjaga kejujuran bangsa kita.

Daftar Pustaka

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2017). Laporan Penyelidikan Kasus KorupsiProyek e-KTP.Jakarta: KPK.
Lembaga  Survei  Indonesia  (LSI).  (2019).  Survei  Persepsi  Korupsi  di  Indonesia. Jakarta: LSI.
Transparency  International.  (2022).  Corruption  Perceptions  Index  2022.  Berlin: Transparency International.
World Bank. (2021). Worldwide Governace Indicators: Indonesia. Washington: World Bank
Merton, R. K (1938). Social Structure and Anomie. America Sociological Review, 3(5), 672-682
Durkheim, E. (1897). Suicide: A Study in Sociology. New York: Free Press.
Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241-258). Westport: Greenwood.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun