Mohon tunggu...
Bataona Noce
Bataona Noce Mohon Tunggu... Freelancer - Aku... Nanti, kalian akan mengenaliku di sana....

Mencintai bahasa dan sastra, seperti mencintai dirinya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Monoteisme (Tauhid)

3 Juni 2019   14:19 Diperbarui: 3 Juni 2019   14:29 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto - tandapagar.com

Kata tawhid (tauhid) berasal dari kata Wahid yang berarti satu atau esa. Maka secara harfiah tawhid adalah menyatukan atau mengesakan. Dalam makna generiknya berarti "mempersatukan" hal-hal yang terserak-serak atau terpecah-pecah.

Dalam Ilmu Kalam, kata tawhid dimaksudkan sebagai paham "me-Maha Esa-kan Tuhan" atau paham " Ketuhanan Yang Maha Esa" atau "monoteisme". Bentuk harfiah kata tawhid tidak terdapat dalam Kitab Suci Al-Quran. Istilah ini ciptaan kaum mutakallim yang mengungkapkan isi pokok ajaran Kitab Suci itu, yaitu ajaran tentang "me-Maha Esa-kan Tuhan". Tawhid secara tepat menggambarkan inti ajaran semua nabi dan rasul Tuhan yakni ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.

Semangat tawhid dalam hidup manusia, muncul masalah dampak pembebasan. Pembebasan merupakan dambaan manusia, kepada pandangan hidup yang mampu membawa kebebasan dari berbagai belenggu zaman modern. Efek pembebasan tawhid merupakan pandangan kemanusiaan yang melekat dan menjadi konsekuensinya, yaitu bahwa salah satu rangkaian tawhid  adalah paham tertentu tentang hakikat dan martabat manusia. Tidak ada tawhid  tanpa menghasilkan pandangan tertentu tentang harkat dan martabat manusia.

Ajaran agama Islam dimulai dengan kalimat La ilah-a illa 'l-Lah, (tidak ada tuhan melainkan Allah). Allah berarti "Tuhan" (dengan huruf kapital), yaitu Tuhan yang sebenarnya. Bersamaan dengan kalimat itu adalah Muhammad-un rasul-u 'l-Lah (Muhammad adalah utusan Allah.  Kedua kalimat ini yang wajib diucapkan oleh setiap orang yang menyatakan diri memeluk atau masuk Islam. Biasanya ditambah dengan perkataan "saya bersaksi".
Seorang Muslim akan mengatakan bahwa pokok pangkal agamanya adalah ajaran tawhid, suatu monoterisme yang keras dan tidak kenal kompromi. Sepanjang ajaran Al-Quran, tawhid adalah inti ajaran dan agama yang dianut para rasul dan nabi sepanjang zaman. 

Akan tetapi juga ada petunjuk bahwa yang pertama mengemukkan ajaran tawhid adalah Nabi Ibrahim yang kelak mewariskan agama-agama monotiseme utama yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Bertitik tolak dari ajaran dan semangat tawhid itu, maka misi Nabi Muhammad adalah perjuangan yang gigih menentang dan memberantas sikap bentuk syirik, terutama sebagaimana diwujudkan dalam agama penyembahan berhala penduduk kota Makkah.

Dari Kitab Suci, hal-hal yang amat jauh dapat kita "lihat" menjadi dekat dan jelas, gambaran di masa depan, Tuhan akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda kebesaran-Nya. Dari Kitab Suci kita ketahui dengan pasti bahwa manusia tidak diciptakan sia-sia. Hidup manusia adalah bermakna, dan makna akhir hidup adalah kembali kepada Tuhan. Kesadaran kembali kepada Tuhan menimbulkan sikap berbakti kepada Tuhan. Sikap berbakti ini melandasi bimbingan ke arah jalan hidup yang benar di dunia ini. Naluri manusia untuk berbakti dan menyembah adalah kebutuhan manusia yang paling asasi. 

Penegasan dalam firman (Q., 2: 257-258), bahwa orang yang tidak menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa akan terjerumus kepada penyembahan thaghut (kekuatan) dan sistem tiranik yang membelenggu dan merampas harkat dan martabatnya sebagai manusia melalui peniadaan kebebasan asasinya. Hanya dengan  tawhid itulah manusia menemukan jati dirinya sebagai makhluk yang tertinggi. Ia dapat kembali ke harkat dan martabatnya, karena ia bebas dari kungkungan tirani dalam segala bentuknya.

Inti ajaran Al-Quran adalah tawhid merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan. Tetapi bagi Kaum Sufi, Al-Quran tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang mengisyaratkan bahwa Tuhan adalah transcendental tetapi juga immanent. Ajaran ilmu kalam tentang mukhalafat-u 'l-hawaditsi yang serba transendental menegaskan bahwa antara Tuhan dan manusia terdapat perbedaan dan "perbedaan yang mutlak". Tetapi dalam Al-Quran terdapat ayat yang dapat ditafsirkan sebagai sangkalan atas hal itu (Q., 38:71-72). Petunjuk Tuhan bersifat immanent selain dapat disimpulkan dari ayat-ayat Al-Quran, juga dari Hadits Qudsi. Dan masih banyak lagi bahan-bahan yang digunakan oleh kaum sufi sebagai sumber dan dasar ajaran-ajaran tasawuf.

Hubungan antara Tasawuf dengan ilmu Kalam dan ilmu Fiqh tidak senantiasa harmonis. Awal perbedaan antara ketiga cabang ilmu itu terutama antara Tasawuf dengan Kalam, lebih terletak pada masalah tekanan daripada isi ajaran. Selain persoalan transendenalisme, ilmu kalam juga lebih mengutamakan pemahaman masalah-masalah Ketuhanan dalam pendekatan yang rasional dan logis. Ilmu Kalam adalah kategori-kategori rasional dari tawhid, dan bersama syari'ah membentuk orientasi keagamaan yang lebih bersifat eksoteris. 

Sedangkan tasawuf menekankan pentingnya penghayatan Ketuhanan melalui pengalaman-pengalaman nyata dalam rohani yang menguatamakan intuisi. Ia merupakan orientasi keagamaan yang lebih esoterik. Tasawuf lebih menekankan kumpulan perilaku daripada rumusan doktrin-doktrin. Dikatakan bahwa perbedaan terletak pada masalah tekanan daripada isinya, sebab baik ilmu kalam maupun ilmu tasawuf keduanya berpangkal pada kalimat syahadah La ilah-a illa 'l-Lah. Apa yang diajarkan oleh tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah  dengan suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekatNya sehingga kita "melihat"-Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya.

Demi martabat dan harkatnya sendiri, manusia tidak boleh memandang lebih kepada alam. Dengan memandang lebih kepada alam berarti dia apriori menempatkan diri di bawah alam. Itu berarti melawan harkat dan martabatnya dengan implikasi yang sangat luas. Antara lain, hal ini berkaitan dengan mitologi. Satu indikasi yang paling gampang ialah bahwa mitologi menuntut pengetahuan. Jadi, tawhid membuka pintu lebar-lebar kepada ilmu pengetahuan. Selanjutnya, dalam Al-Quran dikatakan bahwa Tuhan membuat alam ini lebih rendah, lebih hina daripada manusia supaya manusia bisa mengeksploitasinya. Karena itu, bila melihat gejala alam lebih tinggi dari semestinya, manusia telah merusak martabatnya sendiri dan telah merusak disain Tuhan dan karena itu dosanya tidak terampuni. Ini menyangkut persoalan tawhid yang tiga macam:

  1. tawhid rububiyah: kepercayaan bahwa Tuhan itu adalah satu-satunya pemeliharaan alam.
  2. tawhid khalqiyah: suatu keprcayaan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya pencipta langit dan bumi.
  3. tawhid uluhiyah: suatu kepercayaan bahwa yang harus disembah hanya Tuhan Yang Maha Esa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun