Sewaktu meninggalkan kampung halaman dan tiba di Jakarta untuk kuliah, saya merasa sangat risih mendengar orang yang tinggal di daerah Jawa (seterusnya: orang Jawa) menggunakan Bahasa Indonesia. Mungkin demikian halnya yang dirasakan mereka ketika mendengar saya berbicara. Apakah guru Bahasa Indonesia saya dulu tidak mengajarkan yang benar? Apakah budaya yang menuntut saya berbahasa seperti itu?
Hal yang menimbulkan dilema dalam kenyataan ini adalah dualisme dalam persatuan Bahasa Indonesia, terutama bagi pengguna bahasa yang berasal dari bagian timur (misalnya, NTT) dengan pengguna bahasa di daerah Jawa sendiri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tidak semua pelafalan huruf itu dilafalkan secara sama. Seperti yang diketahui, terdapat beberapa kata yang memiliki makna berbeda jika kata tersebut dilafalkan secara berbeda.
Terdapat dua huruf dalam Bahasa Indonesia yang pelafalannya tidak sama. Pertama, huruf vokal e. Huruf ini memiliki dua pelafalan yang berbeda dan memiliki arti yang berbeda, seperti kata “seri” yang berarti tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah dan “séri” yang berarti rangkaian yang berturut-turut. Contoh lain, kata “begal”, kebanyakan orang dari luar Jawa akan menyebutnya “begal” seperti menyebut kata “penggal” dan kebanyakan orang Jawa akan menyebutnya “bégal” seperti menyebut kata “bédeng”. Jelas bahwa kebanyakan orang Jawa menyebut “begal” dengan benar seperti dalam KBBI.
Kedua, huruf konsonan k. Huruf ini juga memiliki dua pelafalan yang berbeda dan tentunya tidak semudah yang sudah diketahui seperti huruf e. Misalnya “rakyat”, orang dari luar Jawa akan menyebut rakyat dengan penekanan pada huruf k seperti pada “paksa”. Pelafalan yang benar adalah seperti yang dilafalkan oleh kebanyakan orang Jawa, yaitu rakyat yang tidak ditekan pada huruf k, tetapi malah seolah-olah lenyap. Pedoman Umum EYD memberi catatan khusus untuk kata-kata sejenis, yaitu huruf k di sini melambangkan bunyi hamzah. Demikian halnya juga dengan “bapak” harus dilafalkan seperti “rakyat”.
Perbedaan pelafalan huruf dalam sebuah kata terkadang tanpa disadari menimbulkan perdebatan sengit antara pengguna bahasa dari luar daerah Jawa dengan yang dari daerah Jawa itu sendiri. Betapa hal ini kelak akan membuat Bangsa Indonesia yang satu ini menjadi dua.
Ketika masih di bangku SMA, saya pernah bertanya kepada Guru Bahasa Indonesia, “Ibu... kenapa beberapa ‘kata’ yang kita gunakan berasal dari Bahasa Jawa dan Sunda?”. Pertanyaan saya memang sangat sederhana, tetapi ada satu jawaban yang diberikan, yang masih saya ingat dengan baik, “karena hampir semua ahli, bukan dari daerah kita....” Dan akhirnya, saya menyadari kekayaan Bahasa Indonesia yang mempersatukan itu. Perbedaan pelafalan hanyalah efek dari situasi dan kondisi kita lahir dan dibesarkan. Dan itulah kekayaan kita Bangsa Indonesia yang memiliki Bahasa Indonesia, karena di situlah letak keunikan bahasa Indonesia. (Bataona Noce)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI