Mohon tunggu...
Bastian Noor Pribadi
Bastian Noor Pribadi Mohon Tunggu... -

menulis di sela-sela istirahat bersepeda, sudah punya anak 2

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukuman Mati, Perjudian yang Keterlaluan

5 Maret 2015   17:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:08 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih diberlakukannya hukuman mati terhadap sebagian kejahatan di Indonesia menyebabkan bangsa ini memiliki beban yang harus ditanggung dalam pergaulannya dengan negara lain. Beban itu akan semakin bertambah apabila dengan diberlakukannya hukuman mati tidak juga menurunkan tingkat kejahatannya secara siknifikan.

Hukuman mati juga menjadi beban bagi rasa kemanusiaan. Bagaimanapun juga melakukan kesalahan adalah galibnya manusia, sehingga memberi kesempatan seseorang untuk bertaubat adalah kewajiban dari kita semua.  Di sinilah letak pentingnya kenapa hukuman mati perlu dihapus dari sistem pemidanaan kita, yaitu karena tidaklah mungkin bagi seseorang untuk bertaubat dan memperbaiki perilakunya apabila sudah mati karena dieksekusi.

Tidak memberi kesempatan seseorang yang pernah bersalah –betapapun beratnya kesalahan yang dilakukan- untuk sekedar bertaubat dan berusaha menjadi manusia yang baik adalah tindakan yang paling keji. Tanpa kita sadari, kita telah berubah menjadi manusia jahat yang menginginkan darah ditumpahkan dari orang-orang yang sedang tersesat dalam hidupnya. Dengan demikian, apa bedanya kita dengan para pembunuh itu? Tidak ada.

Vonis Hukuman mati memang disandarkan pada hukum materiil yang sampai saat ini masih dianut dalam sistem hukum pidana kita. Khususnya dalam KUHP, hukuman mati secara formal mulai diatur sejak berlakunya Wet Boek Van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang kemudian berdasarkan UU No 1/1946 Wvs dinyatakan tetap berlaku dengan perubahan serta tambahan yang disesuaikan dengan alam kemerdekaan. Atas dasar itulah hukuman mati adalah sah secara hukum.

Namun demikian, cara pandang yang terlalu positivistis tidaklah menarik untuk saya. Mazhab Positivisme yang dianut kebanyakan penegak hukum kita secara terang-terangan memisahkan antara hukum dan moral dan menyebabkan hukum selalu tertinggal dari realitas sosial. Meskipun dapat dipahami peraturan perundang-undangan selalu tertinggal dari realitas sosial, namun terhadap keterbatasan itu, seharusnya hukum tetap memiliki tanggung jawab (beban moral) untuk menjalankan fungsi perubahan sosial agar tercipta kehidupan yang tertib di tengah-tengah masyarakat. Bahkan dalam keadaan tertentu, tindakan penyimpangan (diskresional) haruslah dilakukan sebagai jalan keluar dari keterbatasan hukum yang ada.

Menghukum mati para pelaku kejahatan bukanlah solusi yang tepat. Paling tidak, hal tersebut didasarkan pada  hasil penelitian yang justru  menunjukkan fakta tidak ada korelasi yang signifikan antara pelaksanaan hukuman mati dengan penurunan tingkat kejahatan. Dalam khasus penyalahgunaan narkoba, tercatat pada tahun 1995 Indonesia mulai mengeksekusi mati terhadap pelaku pelanggaran narkoba bernama Chan Tian Chong. Setelah itu Indonesia terus melakukan eksekusi mati terhadap pelaku pelanggaran narkoba. Dari catatan pelaksanaan hukuman mati sejak tahun 1979  hingga saat ini total terpidana narkoba yang sudah dieksekusi mati sebanyak 14 orang, ini termasuk 6 terpidana mati yang telah dieksekusi minggu kemarin. Data tersebut dapat kita bandingkan dengan data dari Kementerian Kesehatan. Coba cek di alamat ini http://bit.ly/1DWKwCh ternyata tingkat penyalahgunaan Narkoba tidak ada penurunan yang signifikan.

Seringkali, pengedar narkoba sebelumnya adalah pemakai biasa yang terpaksa menjadi pengedar atau kurir karena kebutuhan uang untuk membeli narkoba. Mereka dimanfaatkan oleh jaringan sindikat peredaran narkoba internasional yang menggunakan sistem rantai terputus untuk menghindari tindakan dari para penegak hukum. Apabila dilihat dari data Kementerian Kesehatan tadi, dapat kita temukan fakta mengejutkan yang menggambarkan pangsa pasar peredaran narkoba di Indonesia kebanyakan dari mereka yang berada pada usia produktif dari umur 30-34 tahun (tahun 2009). Data terakhir pada tahun 2013 menunjukkan ada pergeseran umur rata-rata pengedar narkoba menjadi > 34 tahun.

Coba bayangkan seseorang yang baru memulai kehidupan mandiri sebagai manusia setelah lepas dari belaian orang tua, tiba-tiba harus mati dieksekusi oleh sebab kebodohannya. Tidakkah menurutmu, pengedar narkoba itu bodoh karena seharusnya dia tahu narkoba hanya menyebabkan kita seperti orang bego yang keluar ilernya karena sakaw? Saya membayangkan sakaw itu seperti ketika saya belum makan sedari pagi gara-gara dompet ketinggalan: mata berkunang-kunang, lutut gemeteran, keluar keringat dingin dan yang paling parah cita-cita menjadi Bupati Magetan langsung ilang.

Coba bayangkan lagi, mereka yang sudah dan akan dieksekusi mati itu telah menunggu selama puluhan tahun sejak mereka menerima vonis terakhir. Bagaimana tersiksanya mereka yang setiap hari, selama 10 tahun harus dibuat cemas karena bisa jadi besok adalah waktunya mereka menghadap regu tembak.

Tiba-tiba saya merasa asing. Bangsa Indonesia yang saya tahu (dari cerita guru-guru SD saya) merupakan bangsa yang ramah dan penuh kasih sayang ini tiba-tiba menjadi bangsa yang beringas dan haus darah. Berbeda ketika dulu kita beramai-ramai menuntut Presiden waktu itu, Bapak SBY, agar memohon ampunan bagi Satinah seorang TKW asal Indonesia yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Begitu berharganya nyawa Satinah bagi kita padahal kita tidak pernah mengenalnya secara langsung. Akhirnya Satinah terhindar dari hukuman mati setelah pemerintah kita membayar diyat/uang pengganti sebesar 21M (baca: duapuluh satu milyar rupiah!!!).

Tapi sekarang kita disuguhi berita begal motor yang tidak segan-segan membunuh korbannya demi mendapatkan sepeda motor. Puncaknya terjadi ketika seminggu yang lalu ada begal yang tertangkap dan dibakar beramai-ramai setelah sebelumnya dihajar (juga beramai-ramai). Saya yakin di antara mereka yang membakar itu adalah orang-orang baik yang melihat hewan disembelih saja tidak tega. Begitu berbedanya bangsa kita, tidak seperti yang pernah diceritakan oleh guru SD saya.

Saya kemudian bertanya, apakah Hakim-hakim yang menjatuhkan vonis mati itu tetap dengan pendiriannya jika terdapat ketentuan dalam setiap pelaksanaan eksekusi mati, hakim tersebut diwajibkan hadir untuk melihat jalannya eksekusi. Saya yakin mereka akan menyesali vonisnya (meskipun dalam hati).

Terakhir untuk Presiden Jokowi, sikap tegas anda yang akan menolak seluruh grasi bagi terpidana mati narkoba sama sekali tidak manusiawi. Pengharapan terakhir ada di tangan anda Pak Presiden, nyawa mereka tergantung anda. Saya tidak tahu apakah penolakan itu anda dasarkan pada pemikiran mendalam atau -benar kata orang- semata-mata karena kebodohan?

Jakarta, 4 Maret 2015

#HapusHukumanMati

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun