Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebenaran dan Keabstrakan dalam Politik

16 Oktober 2017   00:45 Diperbarui: 16 Oktober 2017   01:42 1975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara mengenai politik hampir mirip ketika berbicara tentang cinta. Bisa jadi tidak ada habisnya dan tidak ada ujungnya jika dibahas. Semua berhak memberikan pandangan dan argumen yang paling benar menurut dirinya. Mungkin saja demikian sebab keduanya memiliki sifat yang abstrak tapi pada dasarnya bertujuan untuk kebaikan.

Jika politik hampir pasti beriringan kepentingannya, maka cinta sudah sewajarnya berdampingan dengan nafsunya. Jika kurang tepat dalam memutuskan sikap politik, maka hasilnya bisa jadi akan berujung pada kepentingan meski diawal langkah mengambil politik bertujuan untuk kebaikan.

Begitu juga kira-kira dengan cinta, ketika awal perjalanan dimulainya kisah yang dengan mudahnya mengatakan "I Love You" tapi pada akhirnya berujung pada kesesatan yang berdurasi sekian menit saja. Atau bahkan, bisa berujung pada pengkhianatan, dan bercucuran air mata penyesalan.

Suhu Politik

Saat ini situasi politik di Sulsel kembali panas. Namun begitu, saya tidak terlalu kaget akan hal ini. Sebab sejak lama suhu politik di Sulsel jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memang sudah demikian. Apalagi, pasca diputuskannya kepala daerah di pilih oleh rakyat beberapa tahun silam.

Sebagai contoh pada Pilgub Sulsel 2008. Dimana ketika itu bakal calon gubernur incumbent, Amin Syam berhadapan dengan wakil gubernur Syahrul Yasin Limpo (SYL). Begitu juga pada ketegangan SYL dengan mantan walikota makassar Ilham Arif Sirajuddin (IAS) pada Pilgub 2013 lalu.

Bahkan bukan hanya dalam kontestasi Pilgub, pada Pilkada kabupaten/kota pun demikian. Khusus untuk 12 kabupaten/kota saja yang akan ambil bagian dari Pilkada serentak 2018 mendatang, sudah ada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang menyatakan akan saling berhadapan di Pilkada. Tak cuma satu, malah ada beberapa daerah.

Jangankan dalam dalam kontestasi Pilkada, dalam forum mahasiswa tingkat nasional pun demikian. Jadi kenapa kita mesti terkaget-kaget dengan kondisi kita sendiri yakni dengan terus menggelindingkan dengan isu panasnya suhu politik jelang Pilgub dan Pilkada sedang situasi politik Sulsel sudah demikian. Apalagi, kebudayaan siri' masih sangat diagungkan oleh semua orang di Sulsel.

makassar.tribunnews.com
makassar.tribunnews.com
Berganti Pasangan

Kepentingan adalah bayangan hitam pekat yang masih menyelimuti dunia politik kita saat ini. Tidak bisa dipungkiri, jika hal yang demikian masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian masyarakat yang akan menentukan hak pilihnya dibilik suara ketika hari pemilihan telah tiba.

Sebab tak jarang kita mendengarkan ada masyarakat yang merasa menyesal memilih seorang pemimpin, baik itu dalam ajang Pemilihan Legislatif (Pileg) maupun Pilkada kabupaten/kota maupun Pilgub. Itu berarti, bahwa masih ada beberapa rakyat yang dikibuli oleh kepentingan yang dibungkus rapi dalam retorika politik diatas panggung kampanye.

Dalam teori klasik seorang pemikir Yunani, Aristoteles mengatakan jika politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Namun, perwujudan daripada konsep kebaikan bersama ini yang kadang sulit diputuskan oleh pelaku politik.

Sebab kebaikan bersama ialah mengacu kepada keadilan untuk semua, itu sulit diputuskan. Sebab dalam politik, memberikan lebih banyak kepada kelompok tertentu dipihak dirinya, dibandingakan dengan yang lain itu bisa jadi masuk dalam ranah keadilan dalam konsep politik.

Begitu juga dengan memilih pasangan untuk maju bersama dalam kontestasi Pilkada. Siapa sangka jika Nurdin Abdullah akan berpisah dengan Tanribali Lamo untuk menjajaki Pilgub Sulsel mendatang. Apalagi, keduanya sudah tampak sangat mesra bahkan sudah seperti tunangan karena telah saling bertukar cincing, katanya.

Akan tetapi dalam politik, memilih kepada yang abstrak untuk mengoptimalkan kestabilan diri dan mengoptimalisasi tim yang sudah terbentuk dalam menuju arena pertarungan yang sesungguhnya itu kadang dibenarkan dalam satu situasi dan kondisi tertentu. Sehingga bisa jadi hal inilah yang dialami oleh Nurdin Abdullah dan Tanribali Lamo selama ini.

Bahwa benar mengatakan tidak akan saling meninggalkan dan terus bersama, itu adalah situasi yang abstrak bagi Nurdin Abdullah dan Tanribali Lamo sebab mereka belum mendapatkan kepastian kedaraan politik dan belum melakukan pendaftaran pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) kala itu.

Dan untuk saat ini, apa yang telah dilalui oleh Nurdin Abdullah dan Tanribali Lamo tidak bisa juga dijustifikasi sebagai sesuatu yang salah sebab itu adalah bagian dari proses politik yang belum final. Tidak seperti saat ini, ketika Nurdin Abdullah yang beralih berpasangan dengan Andi Sudirman Sulaiman. Ini adalah sesuatu yang sudah tidak abstrak dan final dalam artian pasti akan berpasangan apalagi telah ditunjang oleh partai politik.

Apa yang telah dipilih oleh Nurdin Abadullah saat ini adalah sesuatu yang dibenarkan secara politik. Meski pun pada sisi yang lain seperti sebuah sandiwara klasik yang dibumbuhi dengan adegan humoris, bahkan biasa dianggap pengkhiatan dan tidak komitmen.

Sisi ini pun tidak bisa juga dipaksanakan bahwa tidak dibenarkan. Sebab jika demikian, maka saya anggap Nurdin Abdullah adalah seorang politisi berlabel profesor yang antikritik. Lagian manusia siapa didunia ini yang bersih dan tidak berdosa.

Realistis dan Ikhlas

Berada pada sisi Tanribali Lamo, tentu sangatlah sulit. Bagaima tidak, dulu kita bersama sekarang kita berbeda atau bahkan bisa juga telah berjauhan. Akan tetapi, seorang yang lahir dari keluarga terhormat dan memegang teguh kehormatan, Tanribali Lamo realistis dan ikhlas berpisah.

Menjadi manusia ikhlas itu adalah manusia pilihan. Dan saya percaya itu ada dalam diri Tanribali Lamo. Bahkan, itu terlihat dengan hampir tidak ada manuver berarti yang dilakukan oleh mantan karateker gubernur Sulsel itu. "Walau kita BENAR, ada saat dimana kita harus MENGALAH" kata Tanribali Lamo.

Bahwa kebenaran dalam politik adalah apa yang sudah terjadi, sedang keabstrakan dalam politik ialah tujuan dan cita-cita yang akan dicapai. Boleh saja kita membalikkannya, tapi jangan pernah membalikkan kebenaran menjadi kebohongan dan kebohongan menjadi kebenaran sebab kepercayaan adalah keteguhan yang mesti diagungkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun