Mohon tunggu...
Basis Kata
Basis Kata Mohon Tunggu... Mahasiswa - "Tetaplah membumi dengan tulisan yang melangit"

Sebuah persepsi kiranya akan mati dan tak berguna jika tidak diabadikan maupun dibagikan ke sesama makhluk hidup. Maka dari itu melalui setiap tulisan, sejatinya persepsi itu akan terus abadi pun demikian dengan penulisnya. Menulislah agar kau tetap terus ada🌹 Tentang makhluk yang ingin abadi dalam tulisannya. Bernama lengkap Syahrul Gunawan lahir di Bontang, 10 Maret 1999. Beralamat di Ralla, Kab. Barru dan saat ini berdomisili di Jl. Andi Djemma, Lr. 5C, Kota Makassar. Menempuh pendidikan di SDI Kompleks Ralla (2005-2011), SMPN 1 Tanete Riaja (2011-2014), SMAN 5 Barru (2014-2017), S1 Manajemen FEB UNM (2017-2022).

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Urgensi Kaderisasi di Tengah Pandemi

15 Maret 2021   05:48 Diperbarui: 16 Maret 2021   02:01 2396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: econochannelfeunj.com

Keterbatasan ruang gerak untuk bersosial di dunia nyata, dewasa ini berimbas pada kurangnya intensitas tatap muka antar individu yang hendak berinteraksi, lantaran bayang-bayang virus tak kasat mata yang telah satu tahun lebih bermukim.  Virus yang telah banyak menelan korban jiwa ini, tak bisa dianggap sebuah virus biasa saja. Covid-19 yang mewabah ini dan telah menjadi pandemi harusnya meningkatkan kewaspadaan kita terkait penyebarannya yang begitu cepat. Tetapi jangan sampai membuat kita panik, hingga malah memperkeruh kondisi.

Pemerintah telah berulang kali mengingatkan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan dengan menerapkan 3 M: memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Maka dengan itu, kita mestinya harus senantiasa memperhatikan hal demikian guna memutus mata rantai penyebaran virus ini. Meski tidak bisa dipungkiri masih banyak yang belum mampu menerapkan kebiasaan untuk patuh terhadap protokol kesehatan ini. Dalam menyikapi hal demikian telah banyak peraturan yang ditetapkan, baik oleh pemerintah daerah maupun pusat guna mensiasati penyebaran virus ini.

Pembatasan kegiatan yang mampu menimbulkan keramaian merupakan bentuk pencegahan penyebaran Covid-19. Pun ketika hendak berkegiatan yang menimbulkan keramaian harus memiliki izin dari pihak terkait seperti Satgas Covid-19, kepolisian maupun pemerintah setempat yang proses perizinannya sudah pasti berbelit-belit. Seperti yang kita ketahui pandemi ini juga berdampak pada kegiatan-kegiatan keorganisasian. Keberlangsungan organisasi di tengah pandemi ini mengharuskan setiap individu yang tergabung di dalamnya harus mampu memutar otak untuk berpikir solutif dan adaptif menyikapi situasi dan kondisi yang ada. James D. Mooney mengemukakan bahwa organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama. Umumnya organisasi merupakan tempat berkumpulnya dua atau lebih orang dengan tujuan yang sama.

Dalam dunia kemahasiswaan sendiri, organisasi menjadi tempat mahasiswa mengasah kemampuan soft skills dan hard skills. Widhiarso (2009) mendefinisikan soft skills adalah seperangkat kemampuan yang mempengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Soft skills merupakan kemampuan yang tidak nampak dan seringkali berhubungan dengan emosi manusia. Sedangkan hard skills menurut Zhang (2012) adalah keterampilan teknis yang diperlukan untuk melakukan jenis tugas tertentu, dan soft skills merupakan keterampilan interpersonal, seperti komunikasi, kerja sama tim, dan manajemen konflik.

Berdasar penjelasan di atas kemampuan tersebut akan terasah ketika kita berorganisasi. Mahasiswa sebagai kaum intelektual yang rakus akan ilmu tentunya harus selalu merasa tidak puas akan pengetahuan yang didapatnya agar senantiasa terus menggali potensi dalam dirinya. Kampus sebagai miniatur negara yang di dalamnya terdapat beragam mahasiswa yang berlatar belakang berbeda pula. Seyogianya menjadi ruang yang ilmiah bagi setiap elemen yang ada di dalamnya. Ruang-ruang dialektika harusnya mudah ditemukan dalam setiap interaksi antar golongan di dalamnya.

Menurut Komaruddin Hidayat (2012), "Sekolah dan universitas di kota besar merupakan miniatur masyarakat Indonesia yang majemuk. Beragam orang bertemu dari latar belakang etnis dan agama berbeda. Perbedaan ini bisa membuka peluang untuk saling berdialog memperkaya wawasan budaya dan agama, namun bisa juga menciptakan jarak, bahkan konflik. Sebagai komunitas kampus yang terpelajar, mestinya mereka mengembangkan sikap kritis-dialogis dan apresiatif karena mereka calon pemimpin masa depan Indonesia yang majemuk ini. Kebesaran indonesia justru terletak dalam kemajemukannya. Tetapi, kalau tidak mampu merawatnya, justru kemajemukan itu akan berubah menjadi kelemahannya."

Yang perlu digaris bawahi yakni kampus sesungguhnya mampu mengembangkan sikap kritis-dialogis. Nah, darimana hal itu bisa dikembangkan jika bukan di dalam organisasi. Yang di mana organisasi kampus begitu kompleks dan juga memiliki tingkatan yang berbeda di dalamnya. Umumnya dimulai dari himpunan tingkat jurusan/prodi (HMJ/HMPS/HIMA), lembaga fakultas (BEM/Maperwa dan biro) hingga lembaga tingkat universitas (BEM/Maperwa dan UKM). Ke semua lembaga tersebut tentunya dibuat sebagai wadah pengembangan minat dan bakat bagi para mahasiswanya.

Nah, organisasi dalam kehidupan masyarakat kampus sendiri di dalamnya terdapat proses kaderisasi yang berbeda-beda sesuai dengan budaya dan kebutuhan organisasi tersebut. Hal ini dibutuhkan sebagai proses regenerasi dan yang utama sebagai upaya menjaga eksistensi lembaga. Pola kaderisasi berawal dari sebuah konsep yang dirancang sesuai dengan aturan dan budaya organisasi. Konsep itu sendiri haruslah dibutuhkan pendidikan dan ilmu pengetahuan, aktualisasi, serta kesejahteraan baik dari segi jasmani maupun rohani. Dengan kebutuhan tersebut, konsep akan menciptakan sesuatu yakni sebuah tugas dalam pembentukan insan akademis seperti yang dipelopori oleh Bung Hatta.

Mahasiswa dilain sisi dituntut untuk menjadi orang terpelajar yang nantinya akan terjun langsung dalam masyarakat, tentu harus punya pengalaman terlebih dahulu di masa perkuliahannya. Maka merugilah mahasiswa jika tidak tergabung dalam organisasi dalam lingkup kampus. Ilmu yang didapat dalam ruang perkuliahan masih minim jika dibandingkan di organisasi. Sebab di dalam organisasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ilmu dan pengalaman terlampau banyak didapat.

Insan akademis yang bergelar mahasiswa ini akan membentuk sikap kritis-dialogis yang mampu memecahkan segala masalah dan menyelesaikan tantangan dengan menciptakan solusi yang kreatif dan inovatif. Di tengah pandemi ini hal tersebut menjadi keharusan bagi setiap fungsionaris lembaga. Tantangan terbesar ada pada proses kaderisasi yang harus beradaptasi dengan situasi dan kondisi pandemi. Mahasiswa baru angkatan tahun 2020 khususnya, sampai saat ini belum sama sekali mengetahui kehidupan kampus secara menyeluruh. Mereka kebanyakan berinteraksi di dunia virtual saja yang notabene sangat berbeda tendensinya ketika tatap muka secara langsung baik itu dengan dosen maupun dengan sesama mahasiswa dalam hal ini antara senior dan junior.

Mau tidak mau konsep awal kaderisasi yang telah membudaya di sebuah organisasi perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada. Schein (1981) dalam Ivancevich et.al., (2005) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat belajar menghadapi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid, dan oleh karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan berperasaan sehubungan dengan masalah yang dihadapinya.

Jika disangkutpautkan pada ranah organisasi kampus, budaya organisasi inilah yang menjadi konstruk pemikiran awal bagi seorang mahasiswa baru. Di mana kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan itulah menjadi habitus, ketika telah berulang-ulang akan dengan sendirinya menjadi pegangan yang tidak mudah untuk dihapuskan. Budaya organisasi ini pula yang membentuk perilaku seseorang yang nantinya menjadi pondasi bagi organisasi itu sendiri ataukah justru menjadi duri dalam organisasi tersebut. Hal ini bergantung pada bagaimana pucuk pimpinan menimbang aspek-aspek dalam budaya organisasi yang masih relevan dengan perubahan zaman. Ketika sudah tidak relevan, perlu kiranya ada penyesuaian di dalamnya.

Ketika sebuah organisasi tidak mampu melihat ancaman dibalik perubahan zaman tersebut dan masih kolot dalam mempertahankan budaya organisasinya yang lama sudah dapat dipastikan organisasi tersebut akan vacuum. Apalagi menyangkut perihal regenerasi kader yang akan stagnan jika masih menggunakan pola lama. Di zaman dengan kemajuan teknologi yang pesat ini, semua serba instan. Ku pikir iya di sisi ketersediaan dan kemudahan akses dalam mencari referensi terkait sesuatu hal. Tetapi tetap dibutuhkan pemikiran yang radikal dengan senantiasa mempertanyakan sesuatu yang belum jelas dan tidak langsung berpaku pada satu persepsi saja.

Hal ini ketika ditanamkan kepada semua elemen yang ada dalam organisasi akan menambah warna pemikiran yang ada. Apalagi pemikiran yang seperti in ditanamkan kepada generasi pelanjut tongkat estafetnya dalam sebuah organisasi. Secara otomatis pula akan mampu menemukan langkah solutif dan adaptif terkait berkegiatan di tengah pandemi ini. Kedudukan sebuah organisasi akan tetap bertahan kokoh walau diterpa gelombang sekalipun. Penanaman sikap kritis-dialog inilah yang perlu ditingkatkan bukan arogansi senioritas yang kuno itu.

Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan upaya menggembleng sikap kepemimpinan dan mengembangkan sikap kritis-dialogis seorang kader. Pemanfaatan media yang ada salah satu kuncinya. Kini jarak, ruang dan waktu bukan menjadi penghalang untuk berinteraksi dan mengakses segala sumber pengetahuan yang ada. Belum lagi jika ditambah dengan asupan buku-buku sebagai jendela kita untuk melihat dunia. Klimaksnya ada pada pertemuan yang intens antara calon generasi penerus tadi dengan pendahulunya. Hubungan yang mesti diciptakan tentunya simbiosis mutualisme, melalui pendekatan humanis.

Ketika hal itu tercapai maka regenerasi kader di tengah pandemi akan tetap berjalan sesuai dengan alurnya, tidak akan ada organisasi yang terhambat dalam penggantian masa kepengurusannya. Sehingga juga akan mengganggu kegiatan akademik mahasiswa.  Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, maka dari itu porsi untuk berorganisasi harus seimbang dan sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan yang tidak ada batasannya. Menjadikan organisasi sebagai tempat belajar bukan tempat menumpang eksistensi lalu lalai akan tanggungjawabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun