Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Hampir menjadi mahasiswa abadi di jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar, lalu menjadi abdi negara. Saat ini sedang menimba ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, beasiswa Pusbindiklatren Bappenas. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Kunjungi saya di www.basareng.com. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Tidak Ada Terlambat untuk Kembali ke Pertanian

2 Oktober 2020   16:55 Diperbarui: 4 Oktober 2020   02:54 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bercocok tanam di rumah. (sumber: Pixabay/J Garget)

Sejak pagi, beranda media sosial (Facebook) saya mendadak hampir seragam. Dari ribuan pertemanan, sebagian besar membagikan sebuah kiriman: Obat segala macam penyakit. 

Itu merupakan kiriman dari sebuah akun bernama Pahamilah(dot)com. Itu terdiri dari 251 foto tanaman obat. Di daerah saya yang masih menyisakan banyak pohon dan tanaman, beberapa di antara tanaman di foto itu tumbuh di lingkungan sekitar, seperti salah satu buah kesukaan saya: jambu biji merah.

Disebutkan bahwa buah dan daun jambu biji memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Di antaranya sebagai antioksidan, antipenuaan dini. 

Kebetulan di halaman rumah ditumbuhi pohon jambu biji. Entah siapa yang menanamnya. Tidak ada yang secara khusus menanam tanaman ini. Mungkin ada yang secara tidak sengaja membuang bijinya di pekarangan. Atau mungkin dibawa ayam. Entahlah.

Yang pasti, jambu biji tumbuh subur. Tidak hanya satu pohon. Tetapi ada empat. Bahkan lima sebelum salah satunya ditebang beberapa waktu lalu.

Sejak kanak-kanak, jambu biji menjadi salah satu makanan kesukaan saya. Rasanya manis. Bijinya bisa turut dimakan. Apalagi yang matang, buahnya begitu mudah dikunyah.

Saat diare menyerang, daun jambu menjadi salah satu pilihan obat. Daunnya direbus lalu airnya diminum. Buahnya juga dimakan. Kalau untuk penyakit yang satu ini memang beredar obat yang berasal dari bahan jambu biji.

Saya ingat beberapa tahun lalu, ada teman sekolah yang dirawat di rumah sakit karena penyakit demam berdarah. Dia meminta dibawakan daun dan buah jambu biji. Katanya bisa menjadi obat demam berdarah. Saya kurang tahu pasti apakah betul bisa menyembuhkan atau tidak. 

Oh iya. Selama dua tahun belakangan saya dan keluarga rajin minum air rebusan ramuan jahe, kunyit, dan sereh. Setiap malam menjelang tidur sudah terbiasa minum satu gelas. Anak-anak juga suka. Katanya air rebusan jahe itu merupakan antibiotik alami. 

Informasi tersebut saya peroleh dari seorang dokter. Videonya tersebar di media sosial. Bukunya banyak diburu. Judul bukunya ini: Jurus sehat Rasulullah. Tanaman rimpang banyak dibahas di situ. Bisa menjadi obat alternatif.

Sebenarnya kiriman-kiriman seperti itu sudah banyak dibagikan. Anjuran untuk kembali ke alam. Mengonsumsi tanaman di sekitar. Sayuran dan buah-buahan yang banyak ditinggalkan kaum urban. Beralih ke makanan cepat saji yang terbukti menyebabkan banyak penyakit. 

Setidaknya itu yang dikatakan teman saya setelah membaca beberapa artikel dan buku kesehatan. Sewaktu sakit 3 tahun lalu, dokter yang memeriksa saya juga mengatakan hal demikian. Katanya begini "Jauhi makanan cepat saji".

Saya teringat kawan saya, saat ini ia punya usaha bercocok tanam di pekarangan rumahnya. Ia menanam semacam sawi. Namanya Pakcoi. Mungkin penulisannya keliru, maaf.

Ia menanamnya dengan rangkaian pipa. Dengan unsur hara dan air yang cukup. Kalau tidak salah, sistem bercocok tanam seperti itu dinamakan hidroponik. Yang menarik, ia tidak menggunakan pestisida. Sehingga tanamannya diklaim lebih menyehatkan.

Bercocok tanam di pekarangan rumah sedang menjadi trend. Sebagian masyarakat perkotaan menanam di pot. Digantung di teras rumah. Atau disimpan di sekitar pagar rumah. Ini juga untuk mensiasati merosotnya lahan pertanian akibat alih fungsi. 

Tidak sedikit tanaman itu yang bernilai ekonomi tinggi. Seperti cabe rawit, cabe merah, sayuran, dan tanaman lainnya. Coba lihat cabe merah. Kalau sebagian besar masyarakat menanamnya, maka harga bisa ditekan. Kita tidak perlu lagi merogoh kocek begitu dalam demi merasakan pedasnya cabe.

Ini bisa digalakkan di saat pandemi covid yang kurvanya belum melandai. Bahkan cenderung kian meningkat setiap harinya. Kondisi yang sangat menekan kondisi keuangan. Membuat dompet semakin tipis. Menguras tabungan. Akibat perekonomian lesu dan membuat banyak orang kehilangan pekerjaan.

Mungkin sudah saatnya kita kembali ke sektor pertanian. Agro-kompleks. Tanaman pangan, hortikultura, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Setelah sektor industri berhasil menggeser pertanian pada Produk Domestik Bruto (PDB). 

Sektor pertanian semakin menurun peranannya. Saat ini sudah berada di bawah sektor industri yang kontribusinya sekitar 19 persen terhadap PDB. Sementara pertanian di kisaran 17 persen.

Belum terlambat untuk memulai bercocok tanam di pekarangan rumah, di pot, atau di atap rumah. Saya pernah melihat hidroponik di atap masjid. Saya tontoh di layar televisi beberapa waktu lalu. 

Menanam komoditi unggulan yang harganya tinggi di pasaran. Tentu saja sangat membantu dalam masa pandemi seperti saat ini. Bisa dikonsumsi tanpa membeli lagi. Dan kalau digeluti dengan serius bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah.

Jadi bagaimana? Kamu tertarik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun