Mohon tunggu...
Baratut Taqiyah
Baratut Taqiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi

MAHASISWA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN SOSIOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Beratnya Menjadi Perempuan! Dilecehkan dan Disalahkan

22 Mei 2022   14:30 Diperbarui: 22 Mei 2022   14:51 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Akhir-akhir ini banyak sekali terdengar kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia, kabar ini menjadi perbincangan yang tidak ada habisnya, berbagai kasus pelecehan pun satu persatu terungkap. Kasus pelecehan seksual ini membuat masyarakat menjadi geram dan mengecam si pelaku-pelaku pelecehan seksual. 

Kasus-kasus pelecehan seksual ini terjadi di lingkungan perguruan tinggi, di lingkungan sekolah, di tempat beribadah dan yang lebih membuat masyarakat geram pelecehan terjadi di pondok pesantren yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu agama malah tercoreng akibat perilaku yang tidak pantas.

Adapun kasus pelecehan seksual yang  sangat-sangat tidak masuk akal terjadi di lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi rumah untuk berlindung bagi seorang anak atau pun seorang perempuan tetapi malah menjadi tempat yang tidak aman untuk berlindung. Karena siapa saja yang ada di dalam keluarga bisa saja menjadi pelaku pelecehan seksual. 

Ayah, kakak, paman, dan bahkan kakek yang seharusnya menjadi sosok yang melindungi perempuan malah tega melakukan pelecehan seksual terhadap anggota keluarga mereka, dan parahnya korban ini adalah menantu, anak, cucu dan mirisnya anak-anak yang masih di bawa umur.

Sungguh berat yah menjadi seorang perempuan yang selalu menjadi korban pelecehan seksual di manapun, tidak gampang untuk seorang perempuan speak up apa yang telah di alami. Mereka lebih memilih diam dan memendamnya sendiri, sekalipun berbicara perempuan selalu disalahkan dari segi berpakaian. 

Jika dilihat para korban pelecehan seksual sebagian besar berpakaian yang tertutup tetapi tetap saja dilecehkan, lalu, siapa yang harus di salahkan? 

Lagi lagi perempuan, perempuan, perempuan selalu yang disalahkan. Bukan kah perempuan juga punya hak dan kebebasan? cara berpakaian tidak bisa dijadikan alasan bahwa perempuan pantas untuk dilecehkan.  

Sungguh berat menjadi korban pelecehan seksual, tidak adanya dukungan, tidak adanya tempat untuk mengadu, bercerita, meluapkan semua yang telah di alami, bahkan untuk ke psikiater pun mereka tidak berani dan merasa malu, takut dipandang buruk, dikucilkan di lingkungan masyarakat. Trauma yang di alami membuat perempuan frustasi, depresi, gangguan mental dan bahkan melakukan suicide. 

Adapun teori dari tokoh sosiologi klasik Emile Durkeim yang terkenal dengan Ateori bunuh diri,  dalam bukunya "SUICIDE". Emile mengemukakan bahwa yang menjadi penyebab bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi sosial. 

Teori ini muncul karena ia melihat di lingkungannya terdapat orang-orang yang melakukan bunuh diri. Kemudian Emile Dhurkeim tertarik untuk melakukan penelitian di berbagai negara mengenai hal ini. 

Peristiwa bunuh diri merupakan kenyataan sosial yang dapat dijadikan sarana penelitian yang menghubungkannya dengan struktur sosial dan integrasi sosial dari suatu kehidupan.

Durkheim pun mendefinisikan bunuh diri istilah diterapkan untuk semua kasus kematian yang diakibatkan secara langsung atau tidak langsung dari tindakan positif atau negatif dari korban sendiri, yang dia tahu akan menghasilkan hasil ini (Dhurkheim 1897).

Dhurkheim membedakan antara empat subtipe bunuh diri yaitu pertama, bunuh diri Egoistik atau bunuh diri yang didasari atas lemahnya hubungan sosial dengan orang-orang di sekitarnya, maka munculnya perasaan kesepian dan kesendirian. 

Kedua, bunuh diri Altruistik merupakan bunuh diri karena merasa dirinya menjadi beban di masyarakat atau merasa kepentingan masyarakat lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan dirinya. 

Selanjutnya, bunuh diri Fatalistik adalah bunuh diri yang dilakukan seseorang karena adanya kondisi yang sangat tertekan dengan aturan, norma, keyakinan dan nilai-nilai dalam menjalankan integrasi sosial sehingga orang tersebut kehilangan kebebasan dalam hubungan sosialnya. 

Ketika seseorang terlalu diatur, masa depan mereka diblokir dan kekerasan tersedak atau disiplin menindas. Hal ini terjadi dalam masyarakat terlalu menindas, menyebabkan orang lebih memilih untuk bunuh diri dari pada melanjutkan kehidupannya. 

Yang terakhir, bunuh diri Anomi ini merupakan bunuh diri yang dilakukan seseorang akibat situasi anomi atau tanpa aturan sehingga kehilangan arah dalam kehidupan sosialnya. 

Anomi ialah nekatnya bunuh diri karena orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan serta norma dalam hidupnya. Hal ini disebabkan oleh perubahan sosial dan aturannya, sehingga keberadaan aturan mempersulit dan tidak berguna, yang membuat individu putus asa dan kebingungan dengan arah yang ingin dituju. 

Hal ini sering terjadi pada masyarakat yang memiliki banyak norma dan nilai tetapi bertentangan. Sehingga yang terjadi kemudian adalah konflik nilai. 

Masyarakat menjadi sulit untuk mencari pegangan dalam menentukan arah yang diatur. Gejala ini sering terjadi pada masyarakat modern, salah satu contohnya nilai kebebasan berekspresi dibatasi, dilihat dengan adanya stigma negatif pada perempuan yang mengunggah atau memakai pakaian minim. 

Dapat disimpulkan dari tipe-tipe bunuh diri Emile Durkheim bahwa akibat dari pelecehan seksual dan tekanan-tekanan dari masyarakat serta stigma negatif yang muncul akibat hal tersebut bunuh diri Anomi adalah tipe suicide yang dilakukan korban pelecehan seksual. 

Menjadi korban pelecehan seksual di hadapkan dengan pemikiran masyarakat yang masih kadang menyalahkan korban, stigma dari masyarakat dimana melihat sesuatu yang di anggap telah menyimpang ataupun aneh, masyarakat juga menilai suatu hal yang memalukan atau tidak sesuai dengan nilai. 

Stigma dari masyarakat ini dimana masyarakat men cap atau memberi label kepada seseorang di lingkungan sosialnya yang melakukan hal-hal menyimpang dari aturan dan kebiasaan yang sudah di anut di lingkungan tersebut. 

Stigma yang muncul di masyarakat yang mana korban disalahkan karena pakaiannya menjadikan korban di cup dan di label tidak sesuai dan  membawa sesuatu yang buruk dan dinilai rendah. 

Stigma yang terjadi di masyarakat ini membuat korban pelecehan seksual menarik diri dari lingkungan sosialnya, penurunan rasa percaya diri , ia menghindar dari pekerjaan dan hilangnya arah masa depan.

Dalam pandangan sosiologi teori Erving Goffman mengenai stigma. Ia menggambarkan stigma sebagai fenomena seorang individu dengan atribut yang sangat didiskreditkan oleh masyarakatnya ditolah sebagai akibat dari atribut tersebut. 

Goffman melihat stigma sebagai proses dimana reaksi orang lain merusak identitas normal. Lebih khusus dia menjelaskan apa yang membentuk atribut, perilaku, serta reputasi secara sosial mendiskreditkan secara tertentu, hal ini yang menyebabkan seseorang secara mental diklasifikasikan oleh orang lain dalam stereotip yang tidak di inginkan dan ditolak dari pada stereotip yang diterima dan normal. Goffman mendefinisikan stigma sebagai jenis kesenjangan khusus antara identitas sosial virtual dan identitas sosial yang sebenarnya.

Goffman membagi hubungan individu dengan stigma menjadi tiga kategori yaitu yang distigmatisasi adalah mereka yang menyandang stigma, yang normal adalah mereka yang tidak menanggung stigma dan orang bijak adalah mereka diantara orang-orang normal yang diterima oleh orang-orang yang distigmatisasi sebagai individu yang bijaksana dan bersimpati. 

Goffman menekankan bahwa hubungan stigma adalah hubungan antara individu dengan lingkungan sosial. Dengan demikian, yang distigamtisasi dikucilkan, direndahkan, dicemooh, dijauhi serta diabaikan. 

Pelecehan seksual dilihat dari perspektif sosiologi bisa juga dikatakan non etis, dimana sosiologi tidak mengkaji baik atau buruk suatu permasalahan yang terjadi, tetapi mencapai tujuan dengan menjelaskan fakta. 

Pelecehan seksual dapat digolongkan sebagai kejahatan pada pasal 294 ayat 2 dalam KUHP. Tetapi dalam pandangan sosiologi bahwa baik buruk tidak dapat dibuktikan. Perilaku pelecehan juga terdapat dalam PERMENDIKBUD No 30 tahun 2021. Dari kasus pelecehan seksual ini mencuatnya konsep relasi kuasa.

Teori Relasi Kuasa oleh Michael Foucault Menurutnya kekuasaan merupakan suatu dimensi dari relasi. dimana ada relasi pasti ada kekuasaan dan kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, karena pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Hal ini berarti di dalam suatu relasi antar individu maka pengetahuan akan dirinya dan orang lain di saat bersama dapat menciptakan kekuasaan.

Dalam UU tidak ditemukan pengertian relasi kuasa secara khusus namun peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum mengatur bahwa relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan atau pendidikan dan tersebut. 

Stigma yang muncul di masyarakat yang mana korban disalahkan karena pakaiannya menjadikan korban di cup dan di label tidak sesuai dan  membawa sesuatu yang buruk dan dinilai rendah. 

Stigma yang terjadi di masyarakat ini membuat korban pelecehan seksual menarik diri dari lingkungan sosialnya, penurunan rasa percaya diri , ia menghindar dari pekerjaan dan hilangnya arah masa depan.

Dalam pandangan sosiologi teori Erving Goffman mengenai stigma. Ia menggambarkan stigma sebagai fenomena seorang individu dengan atribut yang sangat didiskreditkan oleh masyarakatnya ditolah sebagai akibat dari atribut tersebut. 

Goffman melihat stigma sebagai proses dimana reaksi orang lain merusak identitas normal. Lebih khusus dia menjelaskan apa yang membentuk atribut, perilaku, serta reputasi secara sosial mendiskreditkan secara tertentu, hal ini yang menyebabkan seseorang secara mental diklasifikasikan oleh orang lain dalam stereotip yang tidak di inginkan dan ditolak dari pada stereotip yang diterima dan normal. Goffman mendefinisikan stigma sebagai jenis kesenjangan khusus antara identitas sosial virtual dan identitas sosial yang sebenarnya.

Goffman membagi hubungan individu dengan stigma menjadi tiga kategori yaitu yang distigmatisasi adalah mereka yang menyandang stigma, yang normal adalah mereka yang tidak menanggung stigma dan orang bijak adalah mereka diantara orang-orang normal yang diterima oleh orang-orang yang distigmatisasi sebagai individu yang bijaksana dan bersimpati. 

Goffman menekankan bahwa hubungan stigma adalah hubungan antara individu dengan lingkungan sosial. Dengan demikian, yang distigamtisasi dikucilkan, direndahkan, dicemooh, dijauhi serta diabaikan. 

Pelecehan seksual dilihat dari perspektif sosiologi bisa juga dikatakan non etis, dimana sosiologi tidak mengkaji baik atau buruk suatu permasalahan yang terjadi, tetapi mencapai tujuan dengan menjelaskan fakta. 

Pelecehan seksual dapat digolongkan sebagai kejahatan pada pasal 294 ayat 2 dalam KUHP. Tetapi dalam pandangan sosiologi bahwa baik buruk tidak dapat dibuktikan. Perilaku pelecehan juga terdapat dalam PERMENDIKBUD No 30 tahun 2021. Dari kasus pelecehan seksual ini mencuatnya konsep relasi kuasa.

Teori Relasi Kuasa oleh Michael Foucault Menurutnya kekuasaan merupakan suatu dimensi dari relasi. dimana ada relasi pasti ada kekuasaan dan kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, karena pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Hal ini berarti di dalam suatu relasi antar individu maka pengetahuan akan dirinya dan orang lain di saat bersama dapat menciptakan kekuasaan.

Dalam UU tidak ditemukan pengertian relasi kuasa secara khusus namun peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum mengatur bahwa relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan atau pendidikan dan ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.

Relasi kuasa menjelaskan hubungan sosial (relasi) dengan kekuasaan dan relasi terjalin dengan hubungan resiprokal. Relasi kekuasaan menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kedudukan atau berkuasa pasti menjalin relasi degan banyak orang. Relasi akan berkembang berdasarkan kekuasaan yang dimiliki seseorang, maka kekuasaan itu dapat di sebut omni present. 

Kekuasaan muncul dalam relasi sosial yang ada, maka sebab itu definisi dan kontrol dalam genggaman kekuasaan maka dia mampu mengatur hubungan yang terjalin bahkan menormalisasi pada waktu tertentu. 

Konstruksi sosial juga dapat menjelaskan peristiwa pelecehan seksual. Kedua perspektif ini berfokus pada pandangan masyarakat yang mendominasi, maka suatu realitas sebenarnya bukanlah suatu hal yang mutlak . 

Realitas adalah hasil dari konstruksi sosial. Konstruksi sosial terjadi karena eksternalisasi nilai-nilai yang membatasi pemikiran seseorang sehingga pikirannya tidak lagi murni.

Berdasarkan perspektif sosiologi diatasi dimana kekuasaan pelaku dan ketidakberdayaan korban, stigma negatif dari masyarakat dan ketika pelecehan terjadi banyak yang tidak dapat melawan, bahkan trauma yang muncul membuat para korban tidak berani untuk speak up. 

Korban sering diserang balik seolah bersalah, konstruksi budaya ini di hegemoni oleh patriark sehingga lebih banyak pembelaan kepada pelaku. Maka konstruksi ini mencuat dan menjadi realitas sosial. 

Konstruksi sosial ini disebarkan di media menyebar sebagai opini. Masyarakat pun digiring berpihak pada opini yang telah diproduksi, semakin kreatif dan intensif opini diproduksi maka semakin mudah terwujudnya konstruksi sosial.

Pandangan yang mendominasi di masyarakat akan membunuh suatu kebenaran yang ada, dan muncul konstruksi sosial yang berubah menjadi realitas. 

Ketika korban dan pelaku saling melapor ke pihak yang berwajib, relasi kuasa akan muncul dimana jika pelaku memiliki kedudukan maka hal tersebut mampu dinormalisasikan dengan kepentingannya. 

Maka konstruksi budaya patriarki ini menyebabkan tekanan pada korban, maka realitas adalah hasil dari konstruksi sosial serta hegemoni yang membawa kesimpulan korban lah yang bersalah. 

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa hukum yang berjalan di Indonesia masih sangat lemah mengatasi permasalahan pelecehan seksual, jika korban tidak memiliki kuasa dan pelaku lebih berkuasa mudah saja untuk menormalisasi hal-hal yang dapat memberatkan pelaku, lagi lagi korban yang disalahkan dan pada lingkungan sosial korban, masyarakat dikelabui dengan opini-opini hasil konstruksi sosial. Budaya patriarki di masyarakat yang menjadi tekanan kepada korban.

Harapan penulis dari permasalahan di atas agar hukum yang mengatur tentang pelecehan atau pun kekerasan seksual harus lebih menyelidiki dengan baik dan melihat mana yang pelaku dan korban yang harusnya bersalah, dan terhadap lingkungan sosial sebagai masyarakat yang mengerti akan permasalahan ini kita harus dapat menelaah lagi dan jangan cepat percaya dengan opini-opini yang disebarkan media apa lagi kita melihat atau menilai seseorang dengan pakaian yang ia gunakan karena kita semua punya hak dan kebebasan, pakaian tidak dapat menjadi bumerang untuk menyalahkan seseorang dan pakaian tidak menjadi alasan untuk seseorang dapat dilecehkan dan pantas dilecehkan, sebagai masyarakat dan atau kita sebagai perempuan harus dapat menanggapi hal ini dengan sebaik mungkin dan berpikir lebih jernih untuk menanggapi suatu masalah karena menjadi korban pelecehan seksual sangatlah berat.

Demikianlah opini yang dapat saya sampaikan semoga bermanfaat untuk para pembaca. Terimakasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun