Mohon tunggu...
Banyu Wijaya
Banyu Wijaya Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

#nusantaraindonesiatrulyuniversa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Coret-coretan di Cagar Budaya Tamansari Yogyakarta

26 Oktober 2012   06:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:23 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi hari itu, Senin 23 Januari 2012, saya bersama keluarga melaju menuju Kota Jogja dengan niatan untuk melihat barongsai. Anak kami ingin sekali melihat seni budaya Tionghoa tersebut. Anak kami memang sudah pernah melihat tarian barongsai naga di layar televisi, tetapi mereka ingin melihatnya secara langsung dengan mata kepala sendiri.

Sesampainya di 0 Kilometer, kami tak mendapati satu pun baliho atau pengumuman perihal pawai atau sekadar perayaan Imlek 2012 yang biasanya menghadirkan barongsai elegan berwarna merah. Meskipun tidak dapat disebut kecewa, tetapi saya membawa keluarga saya ke Klenteng di sekitar perempatan Senopati. Kami sebentar melihat-lihat klenteng yang cukup ramai dalam rangka persiapan sembahyang para penganut Buddha. Anak kami menginginkan hanya melihat-lihat dari kendaraan kami. Entah kenapa mereka tidak seingin tahu pada barongsai. Pasalnya, di klenteng itu memang tidak ada barongsai. Klenteng itu hanya memajang spanduk bergambarkan naga dan barongsai.

Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya kami memutuskan berkunjung ke situs Tamansari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Maklum hanya saya yang sudah pernah berkunjung ke pemandian istri dan putri kraton ini. Itu pun sudah lama, sekitar tahun 2005. Waktu itu, saya berkunjung bersama kawan dari Bantul dan Jakarta. Meskipun sekadar melewati Tamansari tentu sudah sangat sering.

Perjalanan menuju Tamansari terasa mengasyikkan. Kami melewati Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sedang ada perhelatan akbar: Pesta Malam Perayaan Sekaten (PMPS) 2012 yang sudah berlangsung sejak 30 Desember 2011 dengan pamungkasnya pada 5 Februari 2012.

Sekitar 15 menit dari klenteng, barulah kami memarkir kendaraan di parkiran Tamansari. Karena saat itu merupakan hari libur nasional dalam rangka Tahun Baru Imlek 2653, maka pengunjung bejibun. Kami pun membeli makanan dan minuman untuk dibawa masuk ke kawasan pemandian Tamansari yang termasuk cagar budaya ini. Setelah kami mendapatkan tiket masuk yang seharga Rp3.000,- per orang, ada tiga orang: 1 ayah, 1 ibu, dan 1 putrinya. Karena saya penasaran dengan harga tiket untuk anak-anak, maka saya memelankan langkah agar tahu berapa keluarga tersebut membayar tiket masuk. Oh...ternyata sang putri tidak dihitung membayar, karena usianya belum sampai 7 tahun (terlihat dari tubuhnya yang kecil). Anak saya yang kecil pun belum berumur 7 tahun.

Namun, karena saya tidak mengetahui peraturan pertiketan tersebut, maka saya membayar tiket empat orang. Memang aturan tiket tidak tertera di sekitar loket atau pun di kawasan situs ini. Bahkan saya pun tidak mengecek di situs internet. Bahkan saya pun tidak bertanya perihal tiket tersebut di petugas loket atau kepada orang-orang yang sudah biasa di kawasan ini terlebih dahulu. Berbeda soal dengan kawasan Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembiraloka. Di tempat tersebut terpampang jelas aturan dan harga tiket masuk. Namun demikian, jadi bila pun keliru, itu murni kekeliruan saya, bukan petugas loket dan bukan pula Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Provinsi DIY, saya meniatkan uang tersebut untuk mengabadikan situs bersejarah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini agar tetap terjaga dengan baik.

Kami berempat pun kemudian bergegas masuk ke lokasi situs Tamansari. Pertama-tama kami didekati oleh seseorang, entah petugas situs Tamansari atau seorang guide. Bapak yang sudah agak tua itu terus mendampingi kami sembari menjelaskan beberapa hal terkait Tamansari. Saya tertarik dengan penjelasan bahwa situs ini dapat dipesan untuk kegiatan pernikahan atau arisan asalkan waktunya setelah waktu berkunjung (sekitar pukul 08.00 - 16.00 WIB). Untuk kegiatan arisan dia bilang gratis, sedangkan untuk keperluan pernikahan tarifnya sekitar Rp1.500.000 (hanya tarif tempat), untuk keperluan lainnya disediakan pihak mempelai.

Karena hanya saya yang berdiskusi, sedangkan anak dan istri saya sudah menghambur ke bagian pemandian, maka dia pamit ke depan pintu masuk. Saya pun berterima kasih kepadanya.

Kami pun melihat-lihat sekitar kolam pemandian yang sudah ramai. Lalu kami menuju ke kamar tidur Sultan. Eh...ternyata sudah diduduki banyak orang, kami hanya dapat melihat dari luar, tidak dapat masuk. Kemudian kami menuju ke bagian atas melalui tangga, yang dapat dibilang nyaris lurus sehingga anak-anak dan orang tua harus ekstra hati-hati, hingga tingkat/lantai dua. Persisnya bagian panggung ini berada di sisi selatan pemandian.

Woowww...betapa indah pemandangan kolam dan kawasan pemandian dari lantai dua ini. Hawanya pun dan sejuk, angin sepoi-sepoi. Maka tak heran ada 1 - 2 sepasang kekasih sedang bersama, meskipun tidak bermesraan di lubang (mungkin) bekas jendela. Namun setelah itu baru sadar. Waduhhhh...betapa sedih hati ini. Dinding dicorat-coret tak karuan memakai spidol. Dinding situs cagar budaya nyaris penuh dengan kalimat-kalimat, ada yang narsis, ada yang sekadar menuliskan kata-kata. Bahkan ada yang unik, begini bunyinya (maaf kalau keliru): saya ikut merusak cagar budaya ini.

Tidak sampai 15 menit kami pun menuruni tangga menuju lantai dasar bergerak ke sisi utara yang ruangannya lebih luas dengan beberapa lajur beton menempel di dinding. Lajur beton ini mungkin digunakan sebagai tempat duduk melepas penat para pengunjung setelah berkeliling pemandian. Kemudian kami bergerak ke arah barat melalui tanah yang terbuka. Lalu kami masuk ke bagian rumah seni kerajinan. Ada lukisan kaligrafi, gambar wayang yang sudah dipigura dan yang masih berupa wayang kulit, kaligrafi berhuruf Arab, dan lain-lain. Pada bagian luar rumah ini, dua orang yang dapat dibilang tidak muda lagi sedang melaksanakan tugasnya. Sang lelaki tua sedang membuat wayang berukuran besar. Kata dia, butuh waktu sebulan untuk menyelesaikan wayang sebesar ini. Sang perempuan tua sedang sibuk membatik. Mereka berdua menjadi tontonan kami dan para pengunjung yang lain.

Setelah puas menonton, kami pun bergegas ke kawasan pemandian yang kini sudah lebih penuh dari pertama kami masuk. Dua buah kolam pemandian terlihat bersih, dasar kolam terlihat jelas, dan masing-masing kolam dipasang pancura dan sejenis gentong yang tengahnya keluar air (umbulkah???). Pada sisi timur kolam yang terlihat masih belum panas oleh terik Matahari, juga pada bagian tengah di antara dua kolam, sehingga pada bagian ini beberapa muda-muda menyiapkan pemotretan laiknya pre-wedding. Tidak hanya turis domestik yang berpotret ria, turis-turis mancanegara pun sudah siap dengan kamera terbaiknya.

Nyaris keseluruhan kawasan ini sangat bagus untuk pemotretan. Tentu sangat disayangkan banyak tangan-tangan nakal mengotori situs bersejarah yang sudah mendunia ini. Bila bukan kita yang peduli kepada warisan besar karya kakek nenek moyang kita, lalu siapa lagi, Kangmasbro lan Kangmbakyu?

Setelah cukup puas berada di Tamansari, kami pun melanjutkan kunjungan ke perayaan Sekaten meski hanya sebentar, karena tercium bau yang tidak sedap ketika itu (sekitar pukul 11.00 WIB). Akhirnya, kami pun beristirahat di Masjid Gedhe Kauman yang berada di barat Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta, tempat Sekaten dilangsungkan. Setelah sholat dzhuhur kami pun pulang ke rumah melalui Jalan Mataram karena penasaran dengan barongsai yang menurut informasi biasanya berada di kampung Pecinan di sekitar Hotel Melia Purosani, Yogyakarta. Namun, bukan barongsai yang kami temui, hanya terlihat lampion-lampion khas Tionghoa.

Baca juga:

George J. Aditjondro Menghina Keraton Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun