Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelas Kosong 1

15 Maret 2021   08:00 Diperbarui: 15 Maret 2021   08:11 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurah bagi kita semua, amiin.

Mengawali tulisan ini, mari kita cermati ilustrasi berikut. Orang Jawa menyebut saudara tua laki -- lakinya dengan sebutan: kang atau kakang, mas atau kangmas. Orang Sunda menyebutnya dengan sebutan akang, orang Jakarta dengan sebutan abang, orang Padang dengan sebutan uda, dan lain - lain. Suatu saat orang Jawa berwisata ke Padang mendengar seseorang menyebut saudara tua laki - lakinya dengan sebutan uda, spontan orang Jawa mendekati dan mengatakan mas anda salah yang benar kangmas. Kira -- kira apa yang terjadi, pertengkaran bukan?

Sebutannya memang berbeda bila ditilik dari sisi lahiriyah atau sisi sareat, tetapi bila ditilik dari sisi hakekat atau sisi kejiwaan akan sama saja, yaitu sama -- sama sebutan bagi saudara tua laki -- laki. Akankah hanya masalah perbedaan penyebutan terus dipertahankan sampai akhir hayat? 

Akan sia -- sialah hidup kita, bila waktu habis hanya digunakan untuk mempertentangkan hal -- hal yang sesungguhnya baru berupa kulit, atau sampul, atau pakaian belaka. Mengingat hidup diatas dunia hanya sebentar ibarat orang singgah minum saja, atau kalau dihitung secara matematis 100 tahun diatas dunia, hanya sama dengan 2, 88 menit saja. Sebagaimana difirmankan dalam surat Al Maaarij ayat 4. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. 

Bangsa Indonesia adalah bangsa agamis atau bangsa religius, artinya kita bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, apapun agama dan kepercayaannya. Dalam agama Islam dengan sebutan Alloh, monggo; Dalam agama Kristen, Katolik, Protestan dengan sebutan Allah, atau Tuhan Yesus, monggo; Dalam agama Hindu dengan sebutan Sang Hyang Widhi, silahkan; Dan lain -- lain sebutan bagi setiap agama dan kepercaya an, silahkan -- silahkan saja. Bila ditilik dari sisi lahiriyah atau sareat sebutannya memang berbeda, tetapi bila ditilik dari sisi hakekat atau sisi kejiwaan adalah sama, yaitu sama -- sama berarti Tuhan Yang Maha Esa.

Kita tidak usah mencampuri, dan mencela keyakinan teman -- teman yang berbeda agama, dan atau berbeda aliran kepercayaan. Karena untuk memahami agama atau keyakinannya sendiri saja, belum semua mengerti tentang hakekat beragama yang sesungguhnya. Mari dikaji melalui roso pangroso ayat -- ayat berikut. Surat Al Baqarah ayat 139. Katakanlah; Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami  dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.

Surat Ali Imran ayat 51. Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.

Surat Al Mukmin ayat 27. Dan Musa berkata : sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.

Mengapa dikatakan Tuhanku dan Tuhanmu? Ya karena memang sesungguhnya Tuhan itu satu, hanya sebutannya saja yang berbeda sebagaimana diilustrasikan sebelumnya. Demikian juga agama, sesungguhnya juga satu sebagaimana difirmankan dalam surat Al Anbiyaa' ayat 92. Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.

Oleh karena itu dalam mempelajari atau mengaji perintah dan petunjuk Allah ( Al Qur'an ) atau firman Allah, hendaklah dipelajari atau dikaji secara bertingkat. Diibaratkan kita sekolah, diawali belajar di Sekolah Dasar. Setelah lulus pembelajaran di Sekolah Dasar (SD), lalu melanjutkan belajar di Sekolah Lanjutan Pertama (SLP). Lulus dari pembelajaran di Sekolah Lanjutan Pertama, lalu melanjutkan belajar di Sekolah Lanjutan Atas (SLA). Lulus dari pembelajaran di Sekolah Lanjutan Atas, lalu melanjutkan belajar di Perguruan Tinggi (PT), dan seterusnya.

Dengan pembelajaran secara bertingkat tersebut sudah barang tentu seseorang akan memiliki pengetahuan, atau pemahaman, atau pengertian yang semakin tinggi atau semakin dalam, dalam menguasai satu pokok bahasan. Akan sangat keliru, dan tidak nyambung bila seseorang yang baru menguasai pokok bahasan ditingkat SD, menyalahkan orang yang sudah menguasai pokok bahasan yang sama ditingkat SLP, lebih -- lebih ditingkat SLA, dan terlebih lagi ditingkat PT. Mengapa? Ya karena orang yang telah belajar ditingkat SLP, SLA, dan PT dia sudah mengalami belajar di tingkat SD. Sedangkan mereka yang baru belajar di tingkat SD, sudah barang tentu belum pernah mengalami belajar ditingkat SLP, SLA, apalagi ditingkat PT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun