Mohon tunggu...
Hendry CH Bangun
Hendry CH Bangun Mohon Tunggu... Jurnalis - Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022

Masih bekerja di media meski sudah memulainya saat menjadi mahasiswa di Rawamangun. Juga ikut mengurusi organisasi wartawan. Suka memberi pelatihan jurnalistik di daerah. Suka menulis puisi, begitu pula cerita pendek. Telah menulis sejumlah buku.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menilai Liputan Covid 19

1 Mei 2020   15:17 Diperbarui: 1 Mei 2020   19:08 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi para jurnalis | Gambar oleh Engin Akyurt dari Pixabay

Dan tentu saja yang tidak kalah menarik adalah bagaimana kurikulum fakultas kedokteran dan fakulas biologi dalam menyiapkan ahli yang handal dalam urusan virus ini? Ada berapa laboratorium yang dapat menjadi ajang belajar dan ekspesimen?  Apa niat mahasiswa yanag berkuliah saat ini menjadi ahli atau sekadar mencari pekerjaan? Berapa orang ahli yang ada, yang memilih "jalan sunyi"yang hidup sederhana dibandingkan dengan profesi dokter praktek yang sering disebut hidup bergelimang kemewahan?

Liputan semacam ini dapat menjadi renungan, instrospeksi bagi bangsa Indonesia untuk melihat ke dalam dirinya, apakah yang kita kerjakan selama ini sebagai sebuah bangsa sudah memadai. Bangsa yang memikirkan masa depan dengan semua aspeknya, tidak hanya menggeluti bidang-bidang yang komersial dan pragmatis, tetapi juga memberi tempat pada pengembangan aspek bersifat yang visioner.

Yang tidak kalah penting juga adalah sisi etika dalam peliputan peristiwa terkait pandemic Covid 19 ini. Wartawan yang berpikir tentang bagaimana bangsa ini kelak memandang pandemik tahun 2020 ini akan berhitung cermat untuk membuat pemberitaan terkait orang, pihak, lembaga, yang mungkin akan berakibat buruk atau kurang baik.

Kita masih bisa melihat tayangan tentang orang dalam pengawasan (ODP) di Lombok, yang "ngotot"tidak mau dirawat di rumah sakit diekspos berkali-kali di berita televisi.

Bisa jadi media menganggap ini biasa karena orang itu "bandel", melanggar protocol kesehatan dan membahayakan, tetapi sebenarnya pasti ada alasan mengapa orang takut dirawat apalagi karena dia tidak merasa sakit. Adalah hak dia untuk takut dan bersikeras tidak masuk rumah sakit untuk dirawat, seperti kita juga wajar takut pada hal tertentu.

Ketika tayangan ini diputar 10 tahun lagi, dalam kondisi yang berbeda, apakah tidak dipikirkan dampak psikologis bagi yang bersangkutan atau keluarganya?

Atau juga kita menyaksikan bagaimana anggota masyarakat yang terpergok menggunakan umum secara "ilegal"di atas bus umum, atau kendaraan pribadi, dibiarkan wajahnya tersorot kamera.

Tidak ada upaya menutupi wajah mereka dengan blur, mungkin karena anggota masyarakat itu dinilai sudah dewasa dan melakukan pelanggaran atas aturan yang dibuat.

Termasuk di sini mereka yang kena hukuman push up karena tidak menggunakan masker atau sarung tangan saat mengendarai sepeda motor. Atau yang barang dagangannya diangkat karena tidak mematuhi PSBB. Apa karena dianggap lucu atau mengandung human interest maka ditayangkan?

Sering sekali wartawan di lapangan mendapat kutipan kontroversial yang menarik tapi kurang layak dimuat karena nanti hanya mempertontonkan kekurangan atau bahkan mungkin kebodohan si narasumber.

Begitu pula dengan awak kamera yang mendapatkan gambar yang bagus tetapi sebenarnya bisa "menghukum" pihak lain.  Seharusnya hal ini dipikirkan pengelola ruang redaksi dari sisi etis sebelum disiarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun