Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berkorban Waktu

2 September 2017   07:26 Diperbarui: 2 September 2017   11:38 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Thalabil ilma walau bi sina, bahasa Indonesianya tuntutlah ilmu meski sampai ke Negeri Cina, merupakan sabda Nabi Muhammad SAW. Sabda Nabi ini mengisyaratkan, agar para pengikutnya menjadi insan yang pintar dan cerdas, memiliki wawasan luas, memiliki penalaran rasional tanpa membeda-bedakan bangsa dan suku bangsa, serta tanpa membeda-bedakan warna kulit dan bahasanya. Mengapa demikian? Untuk memahami makna yang terkandung dalam judul dimaksud, izinkan aku menceritakan kisah nyata seorang kakek. Si kakek berusia sekitar 69 tahun, lahir di Metro Lampung, dan pernah menimba ilmu di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta angkatan tahun 1969. Dimasa aktifnya, si kakek mengawali tugas dinasnya di Balai Penelitian Kimia Semarang Jawa Tengah, kemudian pindah ke Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Lampung.

Sejak kanak-kanaknya si kakek memang gemar berolah raga, salah satunya sepak bola. Karena itu beliau mengajak teman-teman sebayanya bermain sepak bola, tanpa memakai sepatu bola, alias cekeran istilahnya. Bola waktu itu, jangan dibayangkan sama dengan bola kaki sekarang ini. Bola kaki waktu itu ada beternya, seperti ban dalam kalau itu diidentikkan dengan ban sepeda. Waktu itu bola kaki punya mulut lebar. Setelah beter dimasukkan kedalam bola melalui mulutnya, kemudian dipompa sampai kekerasan tertentu. Ujung beter dilipat dan diikat dengan karet gelang, lalu dimasukkan kedalam bola melalui mulut tadi. Seterusnya mulut  bola ditali, akhirnya siap untuk bermain bola. Si kakek dipilih sebagai ketuanya, dan atas kesepakatan bersama, perkumpulan sepak bola, diberi nama PERSATUAN SEPAKBOLA PUSPA MUDA (PSPM) karena pemainnya memang masih belia. Pemberian nama ini tidak sembarangan, punya makna. Puspa berarti bunga dan muda sudah jelas artinya yaitu muda. Jadi PSPM dapat diartikan, merupakan perkumpulan anak--anak muda penggemar bola yang diibaratkan masih berupa kuncup bunga. Diharapkan pada gilirannya nanti, akan mekar menjadi bunga yang semerbak harum baunya. Arti harfiahnya dari pemain bola belia dan cekeran, nantinya diharapkan menjadi pemain bola yang handal dan professional.

Waktu itu untuk membeli bola, setiap anggota dipungut iuran Rp 25,- per bulan ( sekitar 50 tahun silam), si kakeklah yang berkeliling mengumpulkan diwaktu senggangnya dan memegang iuran anggota. Saat membeli bolanya ditepatkan sehabis hari raya, karena biasanya dihari raya teman-teman punya uang. Sehingga bila ada kekurangan dari hasil iuran bulanan, dapat ditambah iuran lagi sampai cukup untuk membeli sebuah bola kulit. Dengan demikian PSPM setiap tahunnya dapat membeli 1 bola kulit. Inipun sudah membuat si kakek dan teman -- teman sangat gembira. Tak jarang pula saat membeli bola, si kakek nombok untuk menutup kekurangannya. Namanya hobi, jangankan hanya waktu luang si kakek, danapun dikorbankan dengan ikhlasnya, demi keberlangsungan PSPM. 

Untuk kostum atau seragam team, setiap anggota diminta mengumpulkan kaos oblong sebuah. Dengan uang kas yang ada, semua kaos diwenter sendiri oleh si kakek dengan warna tertentu. Kostum, baru dibagikan kepada pemilik saat mau bertanding saja. Setelah pertandingan usai, kaos dalam kondisi basah dengan keringat, dikumpul kembali. Kemudian dibawa pulang, untuk selanjutnya dicuci oleh si kakek dan disimpan kembali, sampai pertandingan berikutnya. Hal seperti ini si kakek lakukan, karena khawatir bila kaos dibawa pulang dan dicuci sendiri -- sendiri oleh pemiliknya, warna akan cepat pudar. Karena bisa  saja bila dicuci sendiri - sendiri, oleh pemiliknya kemudian dipakai untuk harian. Yang akhirnya saat bertanding, warna kaos menjadi tidak seragam dan bahkan bisa jadi tidak diketahui lagi dimana rimbanya.

Untuk memperoleh tambahan uang kas, pernah si kakek mengajak teman -- teman untuk mengolah tanah milik orang tuanya yang tidak digarap. Semua teman -- teman setuju, dan akhirnya anggota PSPM gotong royong mencangkul. Selanjutnya lahan garapan lalu ditanami ketela rambat, tetapi tidak berlanjut. Hal ini disebabkan karena, PSPM dilebur menjadi satu dengan grup sepak bola seniornya yang bernama PORSIM                   ( Persatuan Olah Raga Seluruh Iringmulyo ). Setelah dilebur sudah barang tentu, yang semula bermain sepak bola cekeran, meningkat memakai sepatu.

Hobi olah raga terus berlanjut, sampai saat si kakek menimba ilmu di Yogyakarta.  Pada akhir tahun 1973, si kakek pindah tempat kos walau masih di Dukuh Sendowo. Ditempat kos yang baru ini si kakek menyewa sebuah kamar berukuran 3 x 3 meter, dengan uang sewa Rp 1.000,-  per tahun. Ditempat baru ini, si kakek tidak membawa perabotan dari tempat lama, karena memang tidak punya. Sebagai tempat tidur, si kakek minta izin memperbaiki tempat tidur yang ada di gudang, yang memang sudah tidak dipakai lagi oleh pemilik rumah. Tempat tidur yang diperbaiki, berukuran 80 Cm x 180 Cm, tidak ada galar atau papannya. Jadi hanya berupa dipan dengan palang -- palang lempengan kayu, yang dipasang jarang -- jarang saja berjarak sekitar 10 Cm. Selanjutnya dialasi dengan tikar tanpa kasur. Demikian tadi kondisi tempat tidur si kakek, ditempat kos yang baru. Bantal tidak terbuat dari kapuk, tetapi terdiri dari tumpukan kaos kostum anggota perkumpulan olah raga.

Di dukuh Sendowo ini, si kakek dipercaya menjadi ketua seksi olah raga. Karena itu untuk membuat kostum atau seragamnya, ditempuh dengan cara yang sama seperti saat si kakek membuat kostum di Lampung, yaitu setiap anggota mengumpulkan sebuah kaos oblong. Kostum, baru dibagikan kepada pemilik saat mau bertanding saja. Setelah pertandingan usai, kaos dalam kondisi basah dengan keringat, dikumpul kembali. Kemudian dibawa pulang, untuk selanjutnya dicuci sendiri oleh si kakek dan disimpan kembali, sampai pertandingan berikutnya. Ya tumpukan kaos teman - teman inilah, yang digunakan sebagai bantal si kakek. Meskipun pekerjaan tersebut menyita waktunya, namun si kakek tetap ceria, ikhlas dan sabar dalam melaksanakannya. 

Setelah lulus dari Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta, si kakek bekerja di Balai Penelitian Kimia Semarang, disamping sebagai koordinator Laboratorium UNTAG dan Sekretaris Sekolah Pengatur Analis (SPA) 1945 Semarang. Dalam tugas dinasnya, si kakek dipercaya sebagai Kepala Sub Seksi Penyiapan Teknis dan Penerapan Standardisasi. Salah satu tugas dan tanggung jawabnya, menyusun konsep Standar Industri Indonesia ( SII ) sejak mempersiapkan hingga membahas Rancangan SII baik ditingkat Daerah maupun ditingkat Pusat melalui Rapat Konsensus Nasional Standar Industri Indonesia Departemen Perindustrian.

Disisi lain, dalam upaya penerapan SII si kakek mencoba mensosialisasikan arti pentingnya SII bagi perlindungan konsumen. Namun bila disosialisasikan secara langsung kepada kelompok -- kelompok masyarakat konsumen, tampaknya akan keluar jalur. Tidak pada jalurnya bila Perindustrian, membina konsumen secara langsung. Supaya pesan tentang arti penting Standardisasi Industri bagi perlindungan konsumen tercapai tetapi tidak diluar jalur, tidak ada jalan lain kecuali lewat media masa, pikir si kakek. 

Terpikir dalam benak si kakek, bila disosialisasikan melalui media masa radio yang mendengar kebetulan masyarakat industri, berarti merupakan pembinaan langsung BPK kepada masyarakat Industri. Tetapi bila yang kebetulan mendengar masyarakat umum atau masyarakat non industri, berarti ini merupakan pembinaan tidak langsung BPK kepada masyarakat konsumen.  Akhirnya melalui seorang teman kantor, si kakek dikenalkan kepada seseorang yang kebetulan beliau bekerja di Radio Gajah Mada Semarang. Singkat ceritanya, si kakek diberi waktu selama 30 menit untuk menyampaikan arti penting Standardisasi Industri bagi perlindungan konsumen. Kegiatan ini dikemas dalam Acara Ruang Standardisasi Industri, yang disiarkan setiap hari selasa, pukul 7 malam.

Dalam pembuatan materi siaran pertama, kedua dan ketiga, dilakukan oleh teman dari Radio Gajah Mada, dengan merekam percakapan atau tanya jawabnya dengan si kakek. Jawaban yang diberikan si kakek secara spontan, jadi tidak ada konsep pertanyaan dan jawaban terlebih dahulu. Setelah selesai acara rekaman, dilakukan editing dikantor Radio Gajah Mada sebelum disiarkan. Hari selasa sebelum pukul 7.00 wib. malam, si kakek sudah bersiap mendengarkan siaran perdana dalam acara Ruang Standardisasi Industri. Alhamdulillah, yang ditunggu datang, dan juga tidak menyangka sebelumnya kalau  dipertengahan penyiaran materi, diselingi sebuah lagu langgam keroncong kesenangan si kakek. Wah ini pasti dibisiki teman kantor, tentang jenis musik yang disukai si kakek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun