Langit Tidak Selalu Mendung: Menakar Ketidaknetralan Polri
Dalam politik, skeptisisme adalah sahabat kritis. Namun, skeptisisme tanpa bukti hanya bayang-bayang di tengah siang. Gagasan Deddy Yevri Hanteru Sitorus, Ketua DPP PDI Perjuangan agar Polri dialihkan di bawah Kemendagri atau TNI tampak seperti langkah 'kesusu' (terburu-buru). Sebelum mengubah struktur kelembagaan, bukankah lebih bijak membuktikan terlebih dahulu apakah Polri benar-benar melakukan tindakan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) untuk memenangkan kandidat tertentu dalam Pilkada serentak 2024?
Seperti langkah Gerindra pada 2019, PDIP dapat menempuh jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi atau Bawaslu. Jika terbukti, tuntutlah pertanggungjawaban komando—Kapolri—bukan dengan gegabah merombak institusi yang menjadi tiang penyangga hukum negara.
Ketidaknetralan Polri dalam pemilu adalah pelanggaran serius yang tak boleh diulang. Namun, perubahan struktur kelembagaan dari bawah Presiden harus dikaji mendalam. Apakah itu benar-benar ikhtiar yang mujarab, atau sekadar langkah emosional tanpa arah yang jelas? Bukan wacana yang dibutuhkan, tetapi solusi yang kokoh dan terukur.
Kita bisa bercermin dari permohonan yang diajukan tim BPN Prabowo-Sandiaga ke Mahkamah Konstitusi pada 2019 silam. Saat itu, mereka menyoroti dugaan mobilisasi aparat kepolisian, intimidasi pemilih, dan penyalahgunaan kekuasaan. Meski isu ini mencuat ke publik, radar kepekaan PDIP seolah tidak mampu menangkapnya. Tidak ada langkah evaluasi atau gugatan yang signifikan dari pihak mereka saat itu.
Hari ini, kritik serupa kembali mengemuka. Apakah PDIP benar-benar berupaya membenahi, atau hanya menyudutkan korps Bhayangkara? Pilkada serentak 2024 sedang berlangsung, menjadi waktu yang tepat untuk mendorong evaluasi netralitas aparat secara transparan.
Jika memang ingin berkontribusi pada demokrasi, jangan biarkan isu ini menjadi manuver politis tanpa substansi. Isu ketidaknetralan adalah masalah lintas waktu yang harus diatasi dengan langkah yang serius dan terukur, bukan sekadar wacana kosong.
Lumbung yang Terbakar: Biaya dari Usulan yang Buru-Buru
Mengganti posisi Polri seperti membakar lumbung hanya karena tikus menyerang. Tikus tidak pergi, lumbung lenyap. Perubahan struktural bukan perkara murah: office supplies, badge, hingga reorganisasi birokrasi adalah pengeluaran besar. Apakah hasilnya sepadan? Belum tentu!
Lebih baik, fokus pada pengawasan struktural dan politik, misalnya, dengan mengusulkan dua calon Kapolri dari Presiden untuk diuji DPR. Jika politik adalah seni kompromi, biarkan parlemen menjadi ruang untuk menyempurnakan, bukan menghancurkan.
Belajar dari Ksatria: Menghadapi Realitas Demokrasi
Pemilu, teristimewa pemilihan presiden periode 2019 mengajarkan bahwa tuduhan TSM harus dibuktikan dengan fakta konkret, bukan opini. PDIP perlu belajar dari Prabowo yang, meskipun gagal di MK, menerima hasil dengan jiwa ksatria. Politik adalah permainan panjang, dan kemenangan sejati tidak datang dari memecah belah lembaga, melainkan dari membangun kepercayaan rakyat.
Membingkai Langit Baru: Antara Sosiologi dan Representasi
Polri bukan hanya institusi, melainkan refleksi masyarakat. Struktur Polri, berada di bawah Presiden, mencerminkan sosiologi bangsa yang dirumuskan melalui parlemen. Perubahan tanpa dialog mendalam ibarat memetik buah sebelum matang, berisiko merusak harmoni sistem.
Untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan publik, dibutuhkan fondasi kokoh yang disusun dengan kehati-hatian, bukan keputusan tergesa-gesa. Polri harus tetap menjadi pilar utama penegakan hukum dan perlindungan rakyat, berjalan seiring perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi tugasnya..
Penutup: Dari Tikus hingga Lumbung, dari Angin hingga Langit
Jika Polri dianggap tidak netral, cari tikusnya. Jangan bakar lumbungnya. Jika ada awan mendung, sisir langit hingga cerah. Politik yang elegan membutuhkan jiwa ksatria, bukan sekadar teriakan di podium. Semoga gagasan ini menjadi pelajaran bahwa perubahan besar memerlukan bukti, dialog, dan langkah yang matang. Seperti petuah lama, “Langit yang cerah selalu lahir setelah badai yang menggugurkan daun-daun rapuh.”
Salam Bhayangkara...
Tegak Mengawal Negeri
BUDI SATRIA DEWANTORO
Ketua Bidang Advokasi & Kebijakan HIPWI-FKPPO
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI