Pemerintah perlu mempercepat implementasi reforma agraria yang berpihak pada petani, bukan hanya sebatas sertifikasi tanah, tetapi juga melalui redistribusi tanah eks HGU (Hak Guna Usaha) atau tanah tanah yang terlantar serta penyelesaian konflik agraria yang berkeadilan.
Importasi Pangan
Ketahanan pangan yang bersifat universal dan makro memang penting, tetapi akan lebih berdampak jika dilakukan dengan asas kedaulatan yang mendorong kemandirian berbasis pada pola produksi keluarga dan potensi pangan lokal. Dengan demikian, posisi petani, nelayan dan masyarakat lokal menjadi subyek utama dalam sistem ketahanan pangan nasional.
Tahun 2024, BPS melaporkan bahwa Indonesia masih mengimpor 4,52 juta ton beras, 1,5 juta ton jagung, dan 11,71 juta ton gandum. Kemudian impor ikan pada Januari hingga Agustus 2024 mencapai 56,80 juta kilogram (kg). Ketergantungan ini menunjukkan lemahnya sistem kemandirian pangan nasional dan kegagalan sistem ketahanan pangan yang tidak berpijak pada produksi lokal.
Sementara itu Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang mengatur kebijakan pangan di Indonesia, tidak mengatur batasan dan sanksi yang tegas untuk praktik impor yang berlebihan. Aturan ini gagal menanggulangi ketergantungan impor yang semakin akut, sebab dalam aturan tersebut importasi pangan dilakukan tanpa syarat. Sehingga, memposisikan pangan lokal dan impor setara.
DPR RI tengah berupaya melakukan revisi Undang-Undang tersebut, langkah ini seharusnya menjadi momentum untuk merombak kebijakan pangan nasional agar lebih berpijak pada asas kedaulatan, serta memperkuat posisi petani, nelayan dan masyarakat lokal sebagai produsen pangan nasional.
Reforma agraria dalam Asta-Cita
Gunawan Wiradi, guru besar dan tokoh agraria Indonesia, menjelaskan bahwa Reforma Agraria adalah penataan kembali susunan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria terutama tanah, untuk kepentingan rakyat kecil petani, buruh tani, tunakisma, dan lain-lain, secara menyeluruh dan komprehensif.
Dalam Asta Cita Prabowo-Gibran, reforma agraria tercatat sebagai bagian penting untuk mencapai swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru. Namun, pelaksanaan reforma agraria di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran masih dipertanyakan, sebab fokusnya lebih pada sertifikasi tanah ketimbang redistribusi lahan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama organisasi masyarakat sipil lainnya dalam agenda Asia Land Forum 2025 pada Februari lalu, telah mendorong komitmen pemerintah dalam upaya mewujudkan Visi dan Misi tersebut. Salah satu poinnya adalah, Percepatan pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, serta Pencapaian kedaulatan pangan melalui penguatan dan perlindungan pusat produksi pangan yang dimiliki dan dikelola oleh rakyat. Namun hingga saat ini, kesepakatan tersebut belum menjadi landasan kebijakan pemerintah Prabowo-Gibran.
Reforma agraria menjadi langkah serius yang harus segera dijalankan oleh pemerintah agar petani, nelayan, dan masyarakat lokal tidak selalu ditempatkan sebagai objek, tetapi subyek utama dalam sistem pangan nasional.