Mohon tunggu...
Bang Nasr
Bang Nasr Mohon Tunggu... Dosen - Nasruddin Latief

Bangnasr. Masih belajar pada kehidupan, dan memungut hikmah yang berserakan. Mantan TKI. Ikut kompasiana ingin 'silaturahim' dengan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengenang Para Guru: Catatan sejak Kecil (1)

28 Januari 2014   07:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:24 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini diilhami oleh pengajian mingguan yang saya berikan di rumah orang tua saya. Sejak beberapa tahun ini memang saya memimpin adik-adik saya untuk menjadikan 'rumah tua' - maksud saya rumah orang tua saya - sebagai basis berbagai pertemuan keluarga, dengan mengisi pengajian keluarga dan anak-menantu serta cucu. Para tetangga yang berminat juga dipersilahkan. Tentu saja pengajian tersebut lebih banyak diisi dengan bacaan doa dan bacaan lain seperti tahlil, tahmid dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang dalam momentum tertentu seperti bulan Maulid ini dilakukan pembacaan maulid atau 'madhunnabi' dan qissatunnabawi, walau suara kami rata-rata kurang 'pas' dengan langgam yang sangat puitis. Siapa saja boleh menyenandungkan. Jika pas giliran saya, saya lebih suka membaca madhunnabi tersebut dari karya Imam al-Hafiz Amir Mukminin fi Hadits Sayyid al-Musrsalin Abu Muhammad Abd Rahman bin Ali Ad-Diba'i Al-Syaibani Al-Zabidi, salah seorang ahli hadits dari Yaman. Tidak jarang saya menangis membacanya karena memahami isinya dan juga puitis syairnya. Walaupun pada waktu kecil di kampung yang dibaca Al-Barzanji. Sedangkan di Brunei Darussalam lebih sering dibaca adalah Syaraful Anam, bahkan dilombakan di berbagai Kementerian. Di kalangan Habaib di Jakarta lebih sering yang dibaca adalah 'Symtutdurar'. Intinya, semua karya-karya 'madhunnabi' tersebut sejarahnya muncul sejak masa Nabi Muhammad saw yang dimulai oleh Sahabat Nabi yaitu Hasan bin Tsabit yang merupakan seorang penyair yang menulis karya 'Burdah Pertama' yang berjudul 'Baanat Suadu' yang merupakan cikal bakal karya-karya burdah (maulid) yang ditulis oleh para ulama kemudian seperti Al-Burdah oleh Imam Al-Bushiri; Al-Burdah karya Mahmud Sami Al-Barudi bahkan oleh penyair modern Ahmad Syauqi dari Mesir dan lain sebagainya selain yang saya sebutkan diatas. Sedangkan di akhir pengajian saya membacakan kitab tasawuf klasik yaitu 'Rasalah al-Mustarsyidin' karya Imam Abul Harits Al-Muhasibi, sebuah kitab tasawuf yang sangat bagus dipelajari untuk meredam gejolak nafsu dan meningkatkan ubudiyah kepada Allah swt. Tidak banyak memang, namun walau jarang-jarang namun menurut saya cukup menggugah kita untuk lebih arif menjalani kehidupan duniawi yang penuh fata morgana ini dan lebih memilih kehidupan akherat sebagai kehidupan yang hakiki.

Kembali ke tujuan tulisan dalam rangka mengenang para guru-guru awal sejak kecil. Bagi penduduk Betawi pinggiran dan belum digerus zaman modern seperti sekarang ini, aib bagi anak-anak yang tidak bisa membaca Al-Qur'an dan juga membaca rawi (madhunnabi). Sehingga sejak kecil anak-anak sudah belajar mengaji dan membaca rawi tersebut. Kami memang sejak kecil sudah belajar karena sistem pendidikan saat itu sejalan. Artinya, sekolah SD pulang tengah hari, dilanjutkan sekolah diniyah (Madrasah) sore hari dan malamnya diteruskan ngaji di Langgar (Mushalla) atau di guru ngaji. Begitulah kegiatan kami kecil. Bahkan pada momen-momen tertentu tidak jarang kami tidur di Langgar beramai-ramai seperti pada bulan Ramadhan dengan 'deres' (membaca Al-Qur'an secara kontinyu bergantian) hingga sahur. (Deres terambil dari kata 'tadarrus' yang artinya belajar).

Diantara guru awal saya adalah seorang Hafiz, yang hafal Al-Qur'an penuh 30 Juz. Namanya almarhum Ustaz Abdul Hadi. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kasih sayangnya pada beliau. Belajar di rubat beliau pada malam hari. Disinilah saya berkenalan dengan pelajaran-pelajaran awal gramatika bahasa Arab yang dimulai dengan matan (teks) Ajrumiyah, sebuah karya klasik yang dipelajari di dunia Islam bagi pemula yang ingin mempelajari bahasa Arab. Selanjutnya mempelajari kitab Al-Mukhtasar. Di tangan beliau kami diwajibkan menghafal kedua kitab tersebut. Saya membayangkan bagaimana suasana pada saat itu, saya sekolah pagi-sore dan malamnya mengaji kepada guru itu, dengan mealui persawahan dan menyeberang sungai karena berbeda kampung berjalan kaki. Saya hanya berdua dengan kawan saya yang usianya lebih besar. Bahkan pada hari weekend kami tidur di rubat dan tidak jarang membersihkan kebun buah milik Guru yang dimana kami diperbolehkan memetik buah-buahan yang ada di kebun seperti rambutan dan mangga. Tentu saja sebagai anak kecil kami sangat senang.

Mengaji pada Ustaz Abdul Hadi memang tidak ada absen dan juga bayaran seikhlasnya, bahkan tidak jarang memang tidak dimintai bayaran kepada murid. Cuma membantu beliau seperti merawat kebun pada hari libur. Tapi - masya Allah - atsar atau bekasnya masih melekat hingga hari ini. Memang begitulah kenyataannya sebagaimana kata pepatah Arab, 'alhifzu fishighari kannaqsyi alal hajar' (Menghafa atau belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu kali), abadi dan perenial. Berbeda dengan menghafal di usia dewasa bagaikan mengukir di atas air/pasir. Cepat lupa. Apakah ini juga sebagai bukti bahwa para guru-guru ikhlas Lillahi Ta'ala mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya sehingga murid-muridnya juga mendapatkan keberkahan tersebut juga. Tidak seperti guru-guru zaman sekarang yang kebanyakan sudha beroientasi kepada uang sehingga keberkahan ilmunya jauh ketimbang guru-guru mukhlisin.

Guru-guru ngaji zaman dulu memang cukup terkenal galak. Jika salah membaca atau lainnya tidak segan memukul dengan mensabet apa saja. Tentu saja sikap keras ini agar para murid serius belajarnya dan juga mendengarkan penjelasannya. Namun, pengaruhnya bagi ingetan atau hafalan kita meresap hingga usia tua. Bahkan saya merasakan berkat ajaran mereka, saya menjadi tertarik belajar ke Timur Tengah (Al-Azhar) karena masih ingat pelajaran Nahwu (gramatika) sejak usia dini sebagaimana yang mereka ajarkan.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau dan memberi balasan yang sebaik-baiknya atas jasa beliau menyebarkan dan mengajarkan ilmu serta ditempatkan disisi-Nya di tempat yang sebaik-baiknya yaitu surga. Amin.

salam damai,

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun