Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Si Bungsu

28 November 2020   17:44 Diperbarui: 28 November 2020   17:52 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Apakah kesedihan itu menular? Ketika kudapati ia tengah menangis, terisak tanpa suara, mataku menghangat. Air mata menitik di kedua sudut mata. Ada apa dengan gadis kecilku? Kuperhatikan wajahnya yang murung. Matanya yang berukuran besar -- khas mata Melayu -- tampak buram. Kupeluk ia. Bukannya reda, tangisnya malah pecah di dadaku.

Kubiarkan air matanya membasahi dadaku. Kutunggu beberapa jenak, barulah aku berusaha menenangkannya.

"Kenapa, nak?" tanyaku lembut. Ia sudah tak lagi menangis.

Ia menggeleng. Kalau tak siap, tak akan kudesak ia untuk menceritakan gelebah hatinya. Biarlah. Aku tahu, ia akan bercerita juga akhirnya. Sekarang, biarlah kami sama-sama meresapi keheningan ini.

Gadis kecil ini, anak bungsu kami. Ia lebih dekat denganku daripada dengan ibunya. Semasa balita, jika sedang sedih atau sakit, ia selalu ingin kugendong. Ditempelkan pipinya di dadaku, lalu ia tenteram bersemayam di sana. Selang beberapa menit ia tertidur.

"Maafin, yah. Aku nggak lulus." Suaranya tersendat memecah sunyi. Aku kecewa, tentu. Aku sangat berharap ia bisa kuliah di perguruan tinggi negeri itu. Selain biayanya terjangkau, perguruan tinggi itu merupakan salah satu yang terbaik. Akan tetapi, kusembunyikan rapat kekecewaanku.
"Sudah, nggak perlu dipikirin banget. Masih ada kesempatan lain."
"Iya, tapi ini salahku, yah. Aku keranjingan nonton drama korea..." Ia tampak seperti ingin menangis lagi.

Mendengar pengakuan jujurnya, aku sedikit geram. Aku selalu mendidik semua anakku tentang pentingnya membangun kerangka berpikir. Bahwa yang terpenting adalah berikan ikhtiar terbaik, soal hasil Tuhan yang tentukan.  Lalai dalam belajar, jelas bukan ikhtiar yang terbaik. Aku layak memarahinya. Tapi pengakuan dan kesedihannya, membuatku akhirnya hanya tersenyum. Aku tak mau juga, marahku justru semakin membuatnya kepikiran dan kecewa berkepanjangan. Aku merasa lebih baik untuk membangkitkan semangatnya.

"Kamu menyesal?"
Ia mengangguk.
"Yang penting itu. Belajar dari kesalahan. Sekarang bulatkan niat, kuatkan tekad. Masih ada ujian mandiri. Katakan ke dirimu bahwa kamu bisa!"
"Makasih ya yah." Ia memelukku. Tersenyum.

Lega hatiku melihatnya kembali ceria. Aku segera kembali ke gudang untuk mengambil perkakas. Bangsal pesanan seorang pelanggan harus segera kuselesaikan. Untaian doa kupanjatkan kepada Tuhan, semoga anak bungsuku senantiasa Ia kuatkan.

Catatan:
Gelebah: gelisah

Kisah fiksi pendek ini sengaja dibuat untuk menguji kecermatan pembaca menemukan nama-nama hewan di dalamnya. Ada berapa nama hewan yang berhasil Anda temukan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun