Sumber: https://images.app.goo.gl/bDw6Xu2JqQtCFqVH8
Dalam perkembangan terbaru, Mahkamah Pidana Internasional atau ICC (International Criminal Court) mengeluarkan surat penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, atas dugaan kejahatan perang terhadap rakyat Palestina. Langkah ini menuai respons beragam dari berbagai negara, menunjukkan kompleksitas persoalan hukum internasional, politik global, dan moralitas dalam konflik Israel-Palestina. Kemudian muncul pertanyaan penting: apakah hukum internasional benar-benar berlaku tanpa pandang bulu, atau justru ada kekuatan politik besar yang mampu membebaskan pihak-pihak tertentu dari jeratan hukum?Â
Kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina telah menjadi isu yang terus disorot oleh komunitas internasional. Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 konflik eskalasi militer kemudian berlanjut menjadi perang berkepanjangan hingga kini, serangan udara Israel telah menghancurkan infrastruktur sipil vital seperti rumah sakit, sekolah, dan perumahan warga.
Dalam laporan Human Rights Watch dan Amnesty International, Israel dituduh melakukan serangan yang tidak proporsional dan membabi buta, menyebabkan kematian ribuan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Tidak sedikit serangan ini dilakukan dengan dalih menghancurkan basis operasional Hamas, tetapi kenyataannya banyak korban adalah warga yang tidak terlibat dalam konflik.Â
Selain serangan fisik, kebijakan blokade ekonomi yang diberlakukan pihak Israel terhadap Gaza juga dianggap sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan. Tindakan ini dianggap sebagai hukuman kolektif yang melanggar hukum internasional, terutama Konvensi Jenewa, yang melarang perlakuan tidak manusiawi terhadap populasi sipil di bawah pendudukan. Dalam beberapa serangan, Israel diduga menggunakan bom fosfor putih yang dapat menyebabkan luka bakar parah dan kematian, terutama ketika digunakan di daerah padat penduduk.
Benjamin Netanyahu secara konsisten menggambarkan Hamas sebagai ancaman utama terhadap keamanan Israel. Narasi ini membingkai Hamas sebagai organisasi teroris yang tidak hanya mengancam stabilitas Israel tetapi juga kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Netanyahu menegaskan bahwa segala tindakan militer Israel, termasuk serangan terhadap Gaza, adalah upaya defensif yang sah untuk melindungi warganya dari ancaman roket, serangan lintas batas, dan infiltrasi teroris.Â
Dalam perspektif ini, Israel memposisikan diri sebagai negara yang berada dalam keadaan darurat keamanan, yang membenarkan tindakan keras terhadap Hamas. Namun, pandangan ini banyak dikritik karena dianggap terlalu menyederhanakan situasi kompleks di wilayah konflik tersebut. Sementara Hamas memang terdaftar sebagai organisasi teroris oleh beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, narasi Netanyahu sering mengabaikan dimensi politik dan sosial dari kelompok ini.Â
Hamas, selain sebagai kekuatan militer, juga merupakan aktor politik yang memegang kekuasaan di Gaza dan mengelola sejumlah program sosial untuk masyarakat Palestina. Pandangan yang hanya melihat Hamas sebagai teroris, tanpa mempertimbangkan akar konflik yang lebih dalam, sering kali dinilai tidak proporsional dan bias.
Presiden AS, Joe Biden, menyatakan keberatan terhadap langkah ICC yang mengeluarkan surat penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, ia menganggap bahwa keputusan ini tidak dapat dibenarkan. Biden menegaskan bahwa ICC tidak memiliki kewenangan untuk menyamakan negara seperti Israel dengan kelompok teroris seperti Hamas.Â
Dalam pandangan Biden, Israel adalah negara yang sah secara internasional, dan hak untuk membela diri dari ancaman eksternal, termasuk dari kelompok-kelompok yang dianggap teroris, adalah bagian dari kedaulatan nasional Israel. Sikap ini menunjukkan keberpihakan AS yang konsisten terhadap Israel, yang telah lama menjadi sekutu utama Amerika di Timur Tengah. Kritik Biden terhadap ICC mencerminkan hubungan khusus yang telah terjalin antara AS dan Israel sejak lama.Â
Dukungan AS terhadap Israel tidak hanya dalam bentuk bantuan militer dan ekonomi yang signifikan, tetapi juga dalam bentuk dukungan politik di panggung internasional. AS telah beberapa kali menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk melindungi Israel dari resolusi yang mengkritik kebijakan Israel terhadap Palestina. Dengan demikian, sikap Biden terhadap ICC sangat dipengaruhi oleh faktor ini, di mana kebijakan luar negeri AS selalu cenderung membela Israel, bahkan dalam kasus-kasus yang mengundang kritik internasional.