Mohon tunggu...
Bang Kemal
Bang Kemal Mohon Tunggu... -

Acuan kerangka awal, pelajaran SD/SMP, berpancasila. Hehe...seorang awam yang mau belajar. Terima kasih Kompasiana, Terima kasih Netter se-Indonesia. Mari berbagi........... dalam rumah yang sehat dan SOLID.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Tentang Kasus Pajak, Pemakzulan dan Sistem Demokrasi

12 April 2010   11:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terakhir terilis, Gayus Tambunan, Andi Kosasih adalah termasuk bersama 10 pejabat lain yang diganti oleh Sri Mulyani, karena terseret kasus penyalahgunaan wewenang dan membawa nama ditjen pajak sebagai lembaga cacat reputasi. Saya bilang cacat moral itu. Satu dua bisa dimaklumi. Demikian juga di lingkungan kejaksaan, Cirus Sinaga dan Poltak Manulang, terkena sanksi jabatan karena kelalaian. Ada beberapa nama, hal yang sama terjadi juga di jajaran kepolisian. Cerita lain masih misterius, adalah SJ (Syaril Djohan). Mantan staf ahli di kejaksaan dan kepolisian.

Keberhasilan temuan rekening BA (Bahasyim Assifie) a.n. istri dan kedua anaknya, dengan 47 transaksi mencurigakan oleh PPATK, menjadi pertanyaan. Kok prestasi ini tidak sama terjadi, ketika menangani Bank Century? Kasusnya jadi melambat alias mandek. Tjipta Lesmana, pakar komunikasi, mengatakan dalam acara Democrazynya Metro, sepertinya ada pengalihan isu yang tersistematis, dengan kasus kasus yang di ungkapkan Susno, dan lain lain. Amin Pak Tjipta.

Apa yang bisa kita amati dari rentetan kisah kisah ini? Flashback lagi dengan janji politik kontestan pilpres. Pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab, transparan, akuntable, dll. Bukan diri sendiri yang bersih, tanpa cacat hukum. Tapi jelas tersirat, tersurat, PEMERINTAH. Maknanya kolegial.

Saya pernah membaca tulisan seorang sumber di Kompasiana, tentang UU pemakzulan. Pemakzulan arahnya lebih kepada ketidakmampuan pribadi presiden/ wapres, dan pidana lainnya. Saya belum ngerti bagaimana kalau bobroknya aparat pemerintah dan akibat kerugiannya buat negara, sampai batas tertentu (tidak jelas), dan kesalahan kebijakan menterinya, bisa memaksa presiden dan wapres ikut bertanggung jawab atau bisa diimpeach. Bisa terseret atau terlibat? Ternyata jalurnya sulit, bolak balik DPR, MPR, MK, MPR lagi. Sementara komposisi koalisi tidak memungkinkan. Hal yang terjelek bisa saja terjadi, persoalan status, kedudukan, penghasilan (status quo) mengalahkan hati nurani.

Idealnya, rakyat berhak menuntut janji janji kampanye dan platformnya. Minta pertanggungjawaban. Prosedurnya perwakilan atau jajak pendapat langsung. Janji kampanye diikat dengan UU. Tidak sanggup memimpin negara, tidak sanggup memenuhi janji politik, bisa diminta pertanggungjawabannya tanpa menunggu masa berkuasa selesai. Cepat dan tidak bertele tele. Idealnya, rakyat bisa terlibat langsung, sebagai esensi demokrasi, esensi negara republik, esensi kekuasaan tertinggi negara ada ditangan rakyat. Tinggal hitungan teknis pelaksanaan.

Ada 30 juta pengguna internet, di Indonesia. Mahir atau pemula. Jajak pendapat dan pemilu bisa saja lewat internet. Yang mengerti jadi mentornya. Kalau jumlah penduduk kita 240 juta, dibagi 30 juta, hasilnya 8. Cukup mementori 8 orang. Toh tidak semua ikut Pemilu. Paling hanya 4 orang yg dimentori. Kalau mau pasti bisa. Saya pernah dengar, jajak pendapat penentuan UU negara dll, dengan internet, pernah dilakukan di salah satu negara Skandinavia. Pemilu di Amerika juga bisa melakukan pemilihan dengan layanan internet sebagai alternatif.


Mulai dari pembentukan UU, jajak opini rakyat, pemilu sampai pemakzulan, rakyat bisa terlibat langsung. Mengapa? Sistem perwakilan, sistem kepartaian, terbukti belum mampu menangkap kehendak rakyat banyak dan meletakkan kekuasaan negara sesungguhnya di tangan rakyat. Sering terjadi pembiasan, antara kepentingan pribadi, partai dan negara. Buat ahli ahli tatanegara, ahli hukum lainnya, ahli ilmu pemeintah dan administrasi negara se-Indonesia. Saya jadi ingin bertanya. Mengapa rakyat berlarut larut dibuat susah meminta pertanggungjawaban kuasa yang dimandatkan kepada mereka yang dipilih langsung oleh rakyat? Buat apa pemilu? Senang senang? Buat apa namanya negara demokratis, kalau terjadi pembiasan makna? Sampai kapan rakyat terus menerus dibiarkan (bisa) mengalami perlakuan pengkianatan kampanye politik tanpa bisa melakukan kontrol yang kuat dan jelas oleh rakyat sendiri? Selama masih tidak didemo besar besaran dan tidak terjadi kerusuhan, selama itu toleransi rakyat dimanfaatkan. Banyak orang pintar di negeri ini, tapi lebih asyik bicara tokoh sana sini. Perubahan demokrasi mendasar belum terjadi. Kontrol rakyat tidak kuat, justru makin diperlemah.

Anis Mata pernah membenarkan, pemakzulan dengan sistem presidensial sekarang ini akan sulit terjadi (tulisan dari salah satu sumber Kompasiana). Inikah yang terjadi dalam alam reformasi? Memang tidak baik ganti penunggang kuda saat menyeberangi sungai. Tapi keleluasan kontrol rakyat adalah alat untuk membatasi perbuatan presiden/ wapres, jajaran eksekutif dan legislatif, menyimpang dari janji dan platform kampanyenya. Ada kata bersih, bertanggungjawab, akuntable, transparan, dan sejenisnya selama kampanye. Pemilu hanya 1 kali dalam 5 tahun. Wujud kekuasaan rakyat hanya sesaat itu. Kalau wujud partisipasi bisa dilakukan dengan atau tanpa perwakilan, mengapa prosedur dipersulit.

Ada hal yang memang menjadi catatan tambahan. Sistem demokrasi menyisakan kelemahan, menyangkut mungkinnya terjadi tirani mayoritas-minoritas. Serahkan saja ke perwakilan. Perwakilan dan sistem kepartaian tetap difungsikan. Termasuk apa saja yang menjadi materi opini atau jajak pendapat langsung dari rakyat. Buat koridor yang jelas, yang tidak menyentuh falsafah negara dan UUD. Pemilihan jabatan publik diperluas, termasuk yudikatif, setelah disaring oleh perwakilan. Termasuk juga pejabat sampai ke tingkat bawah. Kurangi lobi dan money politik dengan teknis pemilihan button up, untuk pilkada. Rakyat memilih siapa saja tokoh daerahnya. Disaring dan kemudian ditentukan oleh rakyat sendiri. Mudah mudahan sudah ada studi kelayakan dari ahli ahli pemikir negara saat ini, tentang perluasan pemilu dengan bantuan internet.

Saya hanya seorang awam yang inginkan tandas dan tuntas bicara demokrasi. Selama tidak ada kontrol yang kuat, maka bangunan negara yang indah dan kaya ini pelan pelan digerogoti. Lalu ditutup tambal sulam. Begitulah seterusnya. Lucunya, lagi lagi pakai uang rakyat. Lagi lagi rakyat menanggung hutang negara, berikut bunganya. Mau pakai pinjaman luar negeri, jual surat berharga atau obligasi negara untuk peminat dalam negeri, ujung ujungnya tetap hutang. Separoh kekuatan pajak rakyat lari kesana. Kemampuan menyejahterahkan rakyat miskin, semakin lama semakin butuh waktu puluhan tahun. Berharap pemerintah mendorong iklim usaha rakyat agar mandiri? Pemerintah sendiri belum mandiri.

Ternyata sulit memberi kepercayaan dan menyerahkan landasan moral kekuasaan negara ini murni pada hati nurani rakyat. Politikus yang sudah belajar politik melalang ke luar negeri, berprestasi, kembali, tapi aktualisadi politiknya, banyak terarah ke diri sendiri. Mengambil kekuasaan jabatan publik, dengan lobi atau jadi kutu loncat, Politik ajang cari kekuasaan. Kekuasaan tujuan utama. Selama sistem status quo menjaring kuat, maka sampai dimanapun juga akan memberikan peluang tak terkontrol. Sah sah saja mempertahankan eksistensi. Tapi bila dengan segala cara? Atau dengan pembenaran realitas, semua begitu, akupun begitu? Politikus makin miskin moral, makin miskin etika, karena sistem demokasi kita dewasa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun