Pagi itu, awan tipis menggantung rendah di atas kota yang dulu disebut "negeri petro dolar". Batuphat, bagian dari jantung industri LNG di Aceh, perlahan mulai kembali ke sunyi setelah kilang gas raksasa menyusut aktivitasnya. Tapi tak semua yang menyusut membawa kesedihan. Di tengah riuh sunyi itu, masih ada cahaya yang bersinar dari ruang-ruang kecil, tempat ilmu dan nasehat tak pernah padam.
Salah satunya: ruang sempit di sisi timur Kantor Urusan Agama (KUA) Muara Satu. Ruang sederhana itu, tanpa pendingin ruangan, hanya beralaskan karpet tipis dan ditemani kipas angin tua. Namun setiap pekan, ruangan itu seperti surga kecil bagi pasangan muda yang ingin menambatkan cinta mereka dalam ikatan halal.
Di sanalah Tgk Marahalim berdiri. Dengan senyum khas yang tidak dibuat-buat, ia membuka wejangan pra-nikah seperti seorang ayah menasihati anaknya. Sesekali ia menyisipkan canda, tetapi tak mengurangi kedalaman hikmah yang disampaikannya.
"Menikah itu bukan cuma karena sudah suka, tapi karena ingin bersama dalam suka dan duka," ujarnya pelan, suaranya bergema lembut di ruang kecil itu. "Kalau suka bisa datang dalam sehari, tapi sabar perlu dibangun seumur hidup."
Wajah-wajah muda di hadapannya mendengarkan dengan khusyuk. Sebagian tersenyum malu, sebagian mencatat, sebagian lagi seperti terbangun dari mimpi bahwa pernikahan bukan hanya tentang pelaminan dan bunga tangan.
Tgk Marahalim bukan konselor dengan gelar panjang. Ia hanyalah santri yang tumbuh dari rahim ilmu. Alumni MUDI Mesjid Raya Samalanga, ia menempuh jejak ilmiah hingga ke kampus yang kini dikenal dengan UIN Sultanah Nahrasiyah. Namun lebih dari gelar, yang ia bawa adalah keteduhan akhlak, kematangan batin, dan kebeningan kata.
"Jadikan ilmu menjadi senjata andalanmu," katanya mantap. "Karena jika cinta datang tanpa ilmu, ia mudah redup. Tapi kalau ada ilmu, walau cinta goyah, kita tahu cara menegakkannya kembali."
Dari Cerobong ke Cermin Diri
Batuphat, tempat Tgk Marahalim tinggal, adalah kota yang pernah disebut-sebut sebagai "jantung ekonomi Indonesia" karena keberadaan kilang gas Arun. Uang berputar cepat. Orang datang dan pergi. Jalan-jalan beraspal halus, dan malam-malam dipenuhi cahaya dari cerobong yang menyala seperti api langit.
Namun, sebagaimana dunia, semua itu sementara. Kini, sebagian pabrik menjadi monumen. Cerobong tinggi tinggal kenangan. Tapi kehidupan tetap berjalan. Dan dari puing kejayaan itu, tumbuh orang-orang baru---yang mencari arah bukan lagi lewat uang, tapi lewat ilmu dan nilai-nilai agama.