Hawa kedinginan menyapa malam berkah pasca sekian lama liburan Ramadhan. Malam itu, Senin 7 April 2025, halaman megah Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga tidak sekadar menjadi ruang upacara. Tempat itu berubah menjadi panggung sejarah yang hidup, penuh dengan harapan, rindu, dan perjuangan. Di bawah sinar temaram lampu-lampu langgar yang sudah mengarungi waktu, ribuan wajah santri dari berbagai daerah di Nusantara termasuk Kabupaten Pidie berkumpul, menyaksikan momen penentu yang telah lama dinantikan.
Ada yang terlihat gelisah, ada pula yang tampak pasrah, namun secara serempak terpancar aura tekad yang membara. Ketika diumumkan bahwa Pidie kembali dinobatkan sebagai juara umum, baik untuk kategori santri putra dengan perolehan 110 poin maupun santri putri dengan 124 poin, langit malam Samalanga seolah turut mengucap takbir kemenangan. Tahun sebelumnya anak Pedir juga meraih prestasi yang sama juara umum.Â
Riuh tepuk tangan meledak, tak sedikit pula yang menitikkan air mata karena setiap detik telah terukir perjuangan yang panjang. Kemenangan ini bukan sekadar angka di atas kertas; ia merupakan cerminan dari perjalanan panjang yang penuh liku, pengorbanan, dan doa. Dalam setiap bait yang dihafal, setiap malam yang dilalui dalam kesunyian, para mujahid dan mujahidah muda -- pewaris darah Tgk Chik Ditiro -- telah mengemban amanah ilmu kitab kuning, warisan para wali, yang kini bersinar di tengah panggung keilmuan ini.
Perjalanan Sunyi Para Penjejak Ilmu
Tak ada yang benar-benar tahu betapa beratnya perjalanan menapaki ilmu di Dayah MUDI. Setiap hari, sejak dini hari sebelum fajar menyingsing, terdengar derap langkah sepatu kayu yang memecah keheningan. Suara-suara lirih doa dan zikir terdengar menyatu dengan detak jantung para santri yang tengah bersiap memasuki kelas. Di ruang kelas yang sederhana, mereka menghafal bait demi bait matan, menelusuri penjelasan para guru dalam syarah kitab klasik, dan meresapi setiap lafal Arab yang terimbuhi dengan nuansa Aceh nan khas.
Tgk. Muhammad Yasir Lamlo, guru tangguh asal Pidie yang ditunjuk mewakili tim putra/putri pada ajang tersebut, merupakan salah satu contoh nyata semangat juang yang menyala. Dalam diamnya, ia menyimpan segudang cerita perjuangan. Dulu, sebelum ia dikenal sebagai delegasi juara, ia hanyalah seorang santri yang setiap malam menahan kantuk di bawah sinar pelita. Ia tekun menekuni kitab-kitab seperti Fathul Mu'in, Tafsir Jalalain, dan Syarah Jauhar Maknun, hingga gigil malam dan perih mata menjadi teman setianya.
"Kadang, hanya ada sepotong timphan sisa iftar yang kami santap, namun semangat tak pernah padam. Di balik setiap pertanyaan guru mengenai sanad dan ma'na, tersimpan harapan yang tak terhingga," kenangnya dengan suara serak penuh emosi.
Tentunya bagi Tgk Yasir dan kawan-kawannya, mengarungi dunia ilmu bukan sekadar menghafal teks. Ilmu merupakan keberkahan, adalah amanah yang harus diperjuangkan demi nama baik Pidie, demi marwah keluarga, dan demi menyambung darah para ulama -- khususnya Tgk Chik Ditiro, sang pahlawan yang pernah menorehkan sejarah keilmuan di tanah Aceh.