Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seorang Perempuan Tua Duduk Termangu

29 April 2010   12:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

—-Panas. Suasana Bandung yang saban hari semakin terik saja. Melepuhkan aspal-aspal. Melelehkan plastik-plastik. Menguapkan keringat-keringat. Mengeringkan genangan-genangan. Mencipta bias fatamorgana pada permukaan jalan. Mencipta angan-angan. Bersama angin yang raib begitu saja. Menghilang. Lenyap. Terembuskan begitu saja. Menjadi ghaib. Kembali lagi menjadi awal. Berputar dan terus berputar. Pada titik yang pada akhirnya kembali menjelma panas.
—-Seorang perempuan tua duduk termangu. Pada lapaknya yang tidak jauh dari lapak-lapak pedagang kaki lima yang banyak berkumpul di pinggir jalan utama. Memenuhi trotoar yang tidak ada lagi ruang bagi pejalan kaki. Lapaknya selalu sepi; yang tampak berbeda jauh dari lapak-lapak lainnya dimana calon pembeli berjubel. Mungkin karena barang dagangannya yang second. Mungkin karena dia hanya perempuan tua yang tidak aktif menawarkan dagangannya. Mungkin karena rezekinya belum datang. Mungkin….—-Seorang perempuan tua duduk termangu. Ketika seorang calon pembeli datang dan melihat-lihat barang-barang dagangannya yang hanya berupa pakaian, dari anak sampai dewasa. Sebagian tergantung dengan warna-warni dan model yang menarik. Sebagian lainnya bertumpuk pada lapak yang membukit. Tak ada yang baru dari dagangannya. Tapi semuanya layak untuk dijual. Layak untuk dipakai, bagi mereka yang mau menghargai. Dan calon pembeli itu kemudian memegang, melihat-lihat, mengukur, melipat, meneliti.
—-“Berapa ini, Mbah?” tanya calon pembeli itu memperlihatkan sehelai baju.
—-Mata tua perempuan yang duduk termangu berkilat, “Lima belas ribu.”
—-“Wahh … kok mahal, Mbah. Lima ribu saja, ya?”
—-Perempuan tua itu hanya tersenyum. Miris. Ia pun menggeleng.
—-“Kalau tujuh ribu bagaimana?”
—-“Tiga belas ribu,” jawab perempuan tua itu bangkit dari duduknya. Kini ia berdiri sambil bersenderkan pada pakaian-pakaian yang bertumpuk di lapaknya.
—-“Tujuh ribu lima ratus deh, Mbah. Tuh! Jahitannya saja sudah ada yang lepas satu.”
—-Perempuan tua itu kembali menggeleng. “Itu sudah murah. Saya cuma ngambil untung seribu lima ratus.”
—-“Masa sih?” sahut calon pembeli itu tak peduli. Baju yang ditentengnya terus, kemudian diletakkan begitu saja pada tumpukan baju yang membukit. Ia pun melihat-lihat pakaian lainnya yang menggantung. Memegang-megangnya. Begitu pula dengan yang menumpuk di lapak. Diangkat-angkat. Ditarik dan dilihatnya, lalu diletakkan begitu saja. Setelah itu, ia pergi.
—-Seorang perempuan tua berdiri termangu. Ia menghela nafas panjang, dan setelah itu mulai merapikan kembali pakaian-pakaian yang tadi sudah dipegang-pegang dan dilihat-dilihat. Termasuk menggantungkan kembali sehelai baju yang sempat ditawar ke tempatnya semula.
—-Lebaran sebentar lagi. Hari raya tinggal hitungan hari. Tepat lusa, semua umat Muslim akan berbondong-bondong ke tengah lapang untuk melaksanakan Shalat Ied. Semua pedagang sudah pasti akan menghitung keuntungan yang akan diperolehnya, agar nanti bisa berlebaran. Lebaran yang sebenarnya. Membawa uang banyak. Membawa oleh-oleh. Membagi-bagikan recehan pada anak-anak, keponakan-keponakan, tetangga-tetangga, dan orang-orang yang patut dan biasa diberi. Bergegas. Bersemangat. Akan lebaran yang sudah pasti ramai. Bersama keluarga yang berkumpul—tanpa kecuali—dan tetangga-tetangga yang saling berkunjung.
—-Seorang perempuan tua kembali duduk termangu. Matanya yang sudah berkabut menatap orang yang lalu-lalang di depan lapaknya. Panasnya cuaca tidak dipedulikannya lagi. Pikirannya menerawang ke negeri antah berantah. Mungkin bagi dirinya, inilah jalan hidupnya yang harus dijalani, setelah berpuluh-puluh tahun. Mungkin bagi dirinya, inilah hidup sebenarnya. Mungkin bagi dirinya—yang mungkin usianya tidak lama lagi usai—, inilah usaha yang paling bisa dilakukannya. Yang masih sempat dilakukannya.
—-Entah angin mana yang menggerakkan, sehelai daun tua berputar-putar di depan lapaknya. Meninggi dan kemudian meliuk, tepat ketika angin yang ghaib itu hilang tak berbekas. Berputar dan jatuh tepat di atas tumpukan pakaiannya yang membukit. Perempuan tua yang duduk termangu itu kemudian bangkit, mengambil daun kering itu. Ia pun duduk kembali, sementara jemari keriputnya membelai permukaan daun yang sudah tidak halus lagi. Menatapnya kosong. Termangu kembali.
—-Seorang perempuan tua duduk termangu. Ketika ada seorang perempuan kecil datang menghampiri. Di tangan kanannya tergantung plastik hitam yang tidak baru lagi. Rambutnya sedikit kusut dan kulitnya berbusik. Wajahnya menawarkan sesuatu yang hampa. Tak ada senyum, tak ada ceria. Hingga akhirnya perempuan kecil itu berhadapan dengan perempuan tua yang sedang duduk memegang daun kering, lalu menyodorkan plastik hitam yang dibawanya.
—-“Maaf, Mbah. Mbah bisa menolong saya?”
—-“Nolong apa?”
—-“Ini baju saya, Mbah. Baju lebaran saya tahun lalu.”
—-Perempuan tua itu menerima plastik hitam dari perempuan kecil, membukanya, lalu melihat baju yang seukuran dengan ukuran tubuh si pembawa. Baju itu sudah kotor, dan ada jahitan yang terbuka di beberapa tempat. Perempuan tua itu kemudian menatap wajah si perempuan kecil.
—-“Saya tidak punya baju lagi untuk lebaran nanti, Mbah. Mbah bisa kan menolong saya?”
—-Perempuan tua itu masih menatap wajah si perempuan kecil.
—-“Saya ingin punya baju baru buat lebaran nanti, Mbah. Tapi … saya tidak punya uang. Saya hanya punya baju ini. Mbah mau menolong saya kan?”
—-Masih menatap.
—-“Boleh saya menukar baju ini, Mbah?”
—-Perempuan tua itu kemudian menatap seluruh tubuh si perempuan kecil.
—-“Boleh, Mbah?”
—-Seorang perempuan tua yang tadi duduk lalu bangkit. Daun kering yang tadi dipegangnya, tanpa disadari telah jatuh. Ia pun melihat-lihat baju anak yang tergantung rapi di belakangnya. Setelah melihat-lihat, memegang-megang, dan memilih, ia kemudian mengambil salah satunya. Ditimang-timangnya sesaat, lalu diserahkan begitu saja pada si perempuan kecil. “Yang ini mau?”
—-“Mau, Mbah,” jawab si perempuan kecil mengangguk.
—-“Ya, sudah. Ini buat kamu.”
—-“Benar, Mbah.” Si perempuan kecil tertawa, memperlihatkan giginya yang tidak rata. Bahkan beberapa di antaranya berwarna hitam.
—-Perempuan tua pemilik lapak mengangguk. “Ambil saja. Dan baju ini bawa lagi,” sahutnya kembali memberikan plastik hitam yang berisikan baju si perempuan kecil.
—-Perempuan kecil itu lalu memasukkan baju barunya ke dalam plastik hitam, lalu pergi setelah mengucapkan terima kasih pada si perempuan tua.
—-Seorang perempuan tua berdiri termangu. Menatap langkah riang seorang perempuan kecil hingga menghilang dari pandangannya. Tak lama kemudian, ia kembali duduk termangu. Melihat daun keringnya yang tadi jatuh, ia pun segera mengambilnya kembali. Membelainya dengan penuh kelembutan. Pikirannya kembali bermain pada negeri antah berantah. Menjadi rahasia pribadinya. Melamunkan yang mungkin bukan dilamunkan pedagang-pedagang lainnya. Mungkin bukan melamunkan lebaran yang tinggal dua hari lagi. Mungkin bukan melamunkan sesuatu yang umum bagi para pedagang menjelang lebaran.
—-Bagi perempuan tua itu, dua hari mendatang adalah sama dengan hari-hari yang telah dilewatinya. Bahwa pada hari itu, ia harus berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Mungkin untuk memenuhi kebutuhan cucu-cucunya yang sudah tidak mempunyai orangtua lagi. Yang baginya lebih berharga. Paling bernilai. Tentang bagaimana menghormati hari raya yang sebenarnya.
—-Dan kelak dua hari kemudian, setelah semua umat Muslim pulang berbondong-bondong dari lapangan. Akan dijumpai pada tepi jalan utama yang biasa, seorang perempuan tua yang menggelar lapaknya. Duduk termangu menanti pembeli. Sementara di rumah yang tidak terlalu jauh dari lapaknya, terdengar sebuah syair milik Raihan dan Now See Heart:

Hari raya hari untuk semua
Hari yang bahagia
Di hari raya mari kita semua
Bersyukur pada Yang Esa
Bermaaf-maafan di hari mulia
Kunjung mengunjung sanak saudara
Sebulan puasa di bulan Ramadhan
Kini tiba masanya berhari raya
Bersalam-salaman di hari lebaran

Bandung 13.09.09


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun