Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Diary

Jakarta, Kampung Halamanku

6 Februari 2024   12:57 Diperbarui: 6 Februari 2024   13:07 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Flickr

Mengenal Jakarta adalah seperti mengenal diri sendiri. Lahir di Jakarta, besar di Jakarta, meski pada akhirnya harus hijrah dan menjadi warga Bandung. Walaupun sudah dikenal sebagai orang Bandung, orang-orang yang mengenalku tetap memanggil dengan sebutan 'Abang'. Jakarta dengan segala sifat negatif yang melekat padanya seperti banjir, macet, dan polusi, tetaplah menjadi tempat yang bikin kangen. Jakarta adalah kampung halamanku.

Aku lahir pada tahun dimana Bpk. Letjen. Ali Sadikin masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Jakarta Utara masih terdiri atas 5 (lima) kecamatan, yaitu Pulau Seribu, Penjaringan, Tanjung Priok, Koja, dan Cilincing. Aku sendiri lahir di Kec. Tanjung Priok, tepatnya di RS. Sukmul Sisma Medika. Aku lahir setelah rumah sakit ini diresmikan sembilan bulan sebelumnya oleh pendirinya, yaitu Dr. Sismadi Partodimulyo, Sp. B,MBA.

Pada saat aku lahir, Jakarta memiliki luas wilayah 577 kilometer persegi dan posisinya masih berada 7 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 27,5 derajat celcius. Aku pun melengkapi jumlah warga Tanjung Priok saat itu menjadi 167.877 orang, yang diantaranya terdapat 499 WNA. Aku dibesarkan di tempat yang bisa dibilang terpencil, di tepi pantai utara Jakarta yang lokasinya tidak jauh dari Pemakaman Ereveld Ancol.

Di kompleks tersebut, peristiwa banjir bisa dibilang tidak ada. Akan tetapi ada peristiwa banjir besar yang diakibatkan oleh permukaan air laut yang meninggi, yang terjadi saat aku disunat saat duduk di kelas 5 SD. Banjir rob itu akhirnya menggenangi rumah sampai setinggi lutut dan bermacam hewan laut pun mudah ditemui di rumah atau di jalanan seperti ikan dan rajungan. Asyik banget, dah.

Kalau merunut dari data BPS DKI Jakarta 1976, tercatat ada 11 kasus banjir pada 1972 di Jakarta Utara dan hanya 2 kasus banjir pada 1975. Tidak terlalu banyak tetapi sejak dahulu, Jakarta memang selalu banjir tiap tahunnya. Kalau dinamika macet, ya secara logika pastinya belum terjadi karena jumlah kendaraan yang masih sedikit. Saat itu, sudah ada 2.500 bus kota dengan 140 rute, lengkap dengan 7.919 bemo dan 15.000 becak.

Jakarta bagiku menyimpan banyak memori istimewa karena bisa menyaksikan aksi Barry Prima syuting di dekat rumah, jalan-jalan ke Ancol gratis hanya dengan menyusuri pantai, atau bertanding bola ke Warakas berjalan kaki menyusuri rel kereta dari Pela-pela hingga Volker. Bisa berburu buku-buku bekas di Pasar Senen dan Kwitang, atau ikut-ikutan cuci mata di Blok M dengan menggunakan jasa transportasi bus tingkat dari Pulogadung.

Hingga akhirnya setelah berseragam putih abu-abu, aku pun mengenal Kelapa Gading Mall dan Dunkin Donats karena lokasi rumah yang berpindah karena digusur. Peristiwa tawuran yang mewarnai dunia sekolah pun tidak membuatku kapok untuk terus menapaki jalan Jakarta, seperti ke Jl. Gatot Subroto untuk mengikuti Lomba Pelajar Teladan atau ke Jl. Mahakam untuk mengikuti Kompetisi Matematika.

Jakarta terus berubah dan berbenah setiap tahunnya, hingga saat aku menjadi mahasiswa di Bandung, selalu saja dibuat pangling saat harus kembali pulang. Rute bus yang makin sedikit, jumlah becak yang semakin tidak ada, sampai akhirnya muncullah Transjakarta yang awalnya membingungkan dan konsep KRL yang tidak diperbolehkannya ada penjual atau pengamen. Perubahan yang pastinya ke arah yang lebih baik.

Setelah memiliki KTP Bandung karena berhasil meminang gadis Sunda, Jakarta tidak lagi menjadi rumahku, tetapi ia tetaplah menjadi kampung halaman saat momen lebaran. Jakarta saat itu adalah kota yang sangat diidam-idamkan. Jalanan begitu lengang, naik motor bersama keluarga terasa begitu nikmat dan membahagiakan, hingga akhirnya bisa naik ke puncak Monas menyaksikan kota metropolitan yang bersih.

Jakarta menyulap dirinya menjadi kota modern dengan fasilitas publik yang makin banyak dan fasilitas transportasi publik yang membuat iri Kota Bandung. Meski masalah kemacetan, banjir, dan cuaca panas masih menghantuinya, Jakarta tetaplah menjadi kota yang membuat aku tetap kangen. Ada makam orang tua di Kelapa Gading, ada paman dan bibi di Tangerang, serta ada kakak/adik di seantero Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun