”Freeport jalan, bapak itu happy, kita ikut happy. Kumpul-kumpul/kita golf, kita beli private jet yang bagus dan representatif”.
Demikian salah satu isi pembicaraan yang tertera pada transkrip pembicaraan antara Ketua DPR RI Setya Novanto dengan Petinggi PT Freeport Indonesia di kawasan Pacific Place yang dilaporan sebagai perbuatan tercela oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.
Lantas, berapa sih harga Private Jet (Jet Pribadi)?. Dari penelusuran di google, didapat harga Jet Pribadi itu beragam, mulai dari 50-an miliar sampai ratusan miliar rupiah.
Yang “murah” mungkin adalah HondaJet, yang dikembangkan Honda Aircraft Company yang berbasis di AS, mematok harga 4,5 juta dollar AS atau sekitar Rp 58 miliar. Pesawat jet dengan tujuh kursi penumpang dengan panjang sekitar 13 meter itu mampu terbang sejauh 2.000 kilometer tanpa perlu mengisi ulang bahan bakar. Pesawat ini mampu terbang dari Los Angeles dan Denver atau dari London dan Roma dengan kecepatan hingga 778 kilometer per jam, jauh lebih cepat dari pesawat sejenisnya.
Atau yang lebih bagus dan representatif dimaksud dalam transkrip itu adalah Jet Pribadi Tipe Gulfstream G200 produksi Israel Aircraft Industries seperti yang dimiliki Pesepakbola Cristiano Ronaldo asal Portugal seharga 19 juta euro (sekitar Rp 278 miliar). Pesawat itu mampu mengangkut delapan hingga sepuluh penumpang. Di dalamnya, ada toilet khusus terpisah untuk penumpang dan kru, ruang ganti, serta dapur. Selain Ronaldo, Jet Pribadi sejenis juga dimiliki oleh selebriti papan atas lainnya yakni Arnold Schwarzenegger dan Jim Carey.
Jika kita cermati transkrip pembicaraan antara Setya Novanto dengan Petinggi PT Freeport Indonesia yang sudah tersebar luas tersebut, ada bau kolusi dari mulut (pembicaraan) itu. Sulit dibantah bahwa ada usaha melakukan pemufakatan yang dibumbui dengan uang (dalam bentuk saham) didalamnya atau hadiah atau fasilitas (privat jet) tertentu untuk tercapainya keadaan yang diinginkan (freeport jalan).
Memang, perbuatan melawan hukum atau kerugian negara (mungkin) belum terjadi, tetapi jika kasus ”pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapre Jusuf Kalla untuk keperluan memperpanjang kontrak Freeport Indonesia” ini tidak terbongkar ke publik, maka bukan tidak mungkin terjadi Kolusi yang akan berujung pada Korupsi sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Menurut Undang-undang tersebut Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
Modus Operandi Kolusi telah dimulai sejak perencanaan suatu “proyek”. Bagaimana anggaran untuk pengadaan barang dan jasa dalam APBN sudah dimulai sejak pengajuan anggaran di DPR. Beberapa kasus korupsi yang diungkap KPK membuktikan di DPR ada praktek percaloan atau makelar yang dapat “menggoalkan” suatu “proyek”, tentu dengan “fee” atau bayaran tertentu.
Kolusi atau persengkokolan merupakan sebuah bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan Korupsi. Kolusi merupakan pintu masuk terjadinya Korupsi dimana sebelum terjadinya korupsi akan diawali dengan kongkalingkong atau permufakatan yang melawan hukum yang pada akhirnya akan mengakibat kerugian keuangan negara. Kolusi merupakan perbuatan yang mendorong terjadinya tindak pidana korupsi.
Kolusi sejatinya lebih tua dari Korupsi karena sejak di zaman Presiden Soharto berkuasa dengan Orde Baru-nya, kolusi secara besar-besaran itu sudah terjadi, uang negara dikuras melalui kerjasama atau kolusi para pengusaha dengan para pejabat di tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, provinsi dan kabupaten/kota.
Kolusi pula-lah yang menjadi salah satu issu sentral dalam gerakan reformasi yang menumbangkan kekuasaan Presiden Soeharto. Pada era Reformasi tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 kosa kata Kolusi sangat “popular” namanya sehingga dihujat dimana-mana, mahasiswa tidak henti-hentinya meneriakan “basmi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”