Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketemu Kamu

13 November 2022   13:24 Diperbarui: 13 November 2022   13:30 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image taken from pixabay.com

Hari ini hari rindu. Eh, meski jarang melewatinya tetapi aku bisa menemukan sewaktu-waktu hari random seperti hari ini yang memuat rindu. Cuaca hari ini biasa saja meski sudah menepi di ujung tahun biasanya langit terhanyut awan, kelabu, lalu hujan menurunkan garisnya tipis rapat tapi tidak kentara yang tiba-tiba saja membasah.

Hari rindu, dan  sekarang aku tidak lagi muda atau illfeel, aku biarkan  saja waktu sudah teramat silam, wajahku sendiri sudah menua  tampak di setiap melewati cermin yang merekam kesehatan seperti kanvas yang mengeriput.

Dan saat ini aku  sedang bersiap untuk satu perjalanan tua yang tidak begitu berjarak menyusuri jalan naik ke hutan kecil, tak mengapa sedikit untuk mengoyak jantung yang mulai malas berdetak buat kembali ke iramanya yang pantas. 

Aku meraih kardigan yang menggantung di dinding dan mengenakannya meski sebenarnya aku tak kunjung merasakan dingin tetapi tetap kurangkap sebagai pelapis kaus tee. Barangkali  baju hangat ini cuma kamuflase, sekedar menekan rasa bahwa kardigan itu semacam signature dari mahluk lansia.

Pak Tua, apakah kau siap?
Seseorang berteriak dari luar pintu kayu, suaranya menggelegar. Itu pasti Henri, anak muda yang akan menemani ku bertualang di hari senja usia.
Sangat siap anak muda! Jawabku gagah sembari melangkah menebar pintu. Masuk?
Hahaha.. aku siap melangkah tapi tidak untuk mengopi, pak Tua! Tukasnya senyum. Okey! Aku tergopoh menuruni tangga kayu beranda. 

Wow, perlahan pak Tua. Henri tertawa khas, tubuhnya melekatku, tangan betonnya menepuk-nepuk backpack di punggungku. Kau yakin ini tak terlalu sarat, pak Tua? Henri muda memberi komen. Secercah wajahku tersinggung. Sejak kapan kau meremehkan tulang tua ini, Henri?  Tapi pemuda sixpack itu tak bereaksi, dia hanya menyeringai lalu mengayun tongkat kayu untuk diberikan padaku.

Matahari akan bagus tampaknya!
Ya aku setuju. Mari!

Segera kami berdua melangkah awal dengan tegap, Henri di depan dan aku dibuntutnya hingga jalan setapak mulai berkelok. Apakah anda oke pak Tua? Henri menoleh dan aku mengacungkan ibu jari. Lalu perjalanan berlanjut sampai satu setengah jam kami menampak sebuah rumah mungil, barangkali sedikit ganjil buatku, sebangun rumah mungil di pinggir huma.

Maaf pak Tua, aku pikir aku akan menyapa pemiliknya! Henri membuka kata. Okei, aku tak keberatan Henri!
Lalu kami berdua mendekat pintu villa warna hijau itu dan Henri mengetuk dengan lugas seperti dia demikian familiar. Dan segera seorang dara menjelang membuka pintu kayu, wajahnya cantik nian, kulitnya segar dan rambutnya jatuh terurai.

Wanita muda itu merentang kedua lengannya mereka berpelukan hangat meninggalkan ku dibaliknya seperti orang ketiga yang tersesat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun