Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Belajar Sepak Bola Lugu dari Belia Brunei

5 Juli 2022   18:28 Diperbarui: 5 Juli 2022   18:44 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Iqbal Firdaus/Kumparan

Menatap laga kedua AFF U19,  Timnas kontra Brunei seperti menonton laga bocah SMA melawan bocil SMP. Pemain kita dengan fisik rata-rata gede dan tinggi terlihat jauh lebih tua dari pemain bola Brunei yang kebanyakan berawak mungil dan culun. Tampak permainan sepakbola Timnas U19 sangat superior baik dari hal berlari, menggocek dan body charging hingga perebutan atau duel untuk penguasaan bola. 

Sementara para pemain Brunei tampak polos, tidak pernah melakukan pelanggaran dan penuh perhatian pada pemain kita yang terjatuh atau kesakitan dengan menghampiri dan berusaha menolong atau menghibur. 

Meskipun dikalahkan dengan skor 7 para belia Brunei tidak memperlihatka kepanikan atau kekecewaan, bahkan meski jebol 7 kosong, mereka bermain sangat tenang, dalam hal teknik dasar dari mengoper bola dan menahan bola dengan pas. 

Berbeda dengan Timnas kita yang meskipun pesta gol ternyata bermain kurang tenang, rusuh dan tergesa-gesa. Operan-operan yang selalu terlalu panjang atau terlalu pendek sehingga perlu pergerakan ekstra untuk memaintain lagi operan, begitu juga saat mendribel sering uncontrolled sehingga terlalu jauh dari kedua kaki. 

Dalam hal perebutan bola, mayoritas pelanggaran dilakukan dari anak-anak Timnas, sementara Brunei begitu minim foulty, bahkan mereka tampak penurut dan welas asih. Menarik. barangkali ini salah satu alternatif dari diferensial fair play yaitu sepak bola kasih sayang yang telah diperagakan anak-anak Brunei.

Pertandingan ini memang berat sebelah, namun dari kepuasan sepakbola yang martial, banyak yang gemes, seharusnya Indonesia bisa menggulung Brunei lebih dari 7 gol, bahkan lebih dari 10. Terus terang sejak pertandingan dimulai beberapa menit dengan dimulainya skor oleh Timnas19, saya sudah memasang hati, bahwa ini adalah pertandingan anak-anak kita, satu pertandingan yang gembira, school game weekly, lebih dibuat untuk menyenangkan ketimbang melihatnya dengan dahi berkerut. Lupakan sekejap kompetisi AFF yang menguras ketegangan, karena pada dasar yang terdalam, they are just kids!

Apalagi melihat penonton yang memenuhi stadion Patriot Candrabhaga adalah kawula muda yang penuh energi  school class, sangat menyenangkan melihat kegembiraan mereka menonton anak-anak seumurannya berlaga. Ini adalah atmosfer yang sempurna buat anak-anak kelas.

Hal ini sangat berbeda saat pertandingan pertama Indonesia19 melawan Vietnam19, begitu serius, begitu menegangkan dan begitu tua, tidak terbersit nuansa young gun, malah terkesan old school atmosphere.

Dan pada saat pertandingan Garuda lawan Brunei, baru saya tersadar melihat perform anak-anak Brunei yang rupawan, lurus dan jujur, bahwa sejatinya mereka semua Timnas19 dan Brunei 19 masih begitu belia. 

Makanya saat Indonesia dianggap gagal karena bermain imbang nol-nol melawan Vietnam di laga pembuka, maka bully pun mulai menggema menjadi trending. Betapa Ronaldo Kwateh harus menanggung dera hina di umurnya yang seumur anak-anak kelas, terlalu muda untuk menerima perundungan masif kayak gitu. Hei!  He's 17 and He's just a kid, you know?

Mereka bermain sepakbola dewasa namun mereka adalah murni anak-anak sekeluarnya dari lapangan hijau dan mereka tidak akan sanggup menerima hujatan seperti pendewasaan lapangan mereka. Iya nggak sih?

Pelatih kita Shin Tae yong juga sempat menyatakan keberatannya perihal perundungan ini dan dia berharap untuk lebih baik memberikan semangat kepada anak-anak bolanya. Walaupun pelatih Shin menangani pemain belia-belia ini yang saya sendiri lebih berharap bahwa under 19 ini dilatih oleh yang lebih yunior dari pelatih Shin. Seperti halnya Vietnam19 ternyata tidak dilatih oleh pelatih seniornya Park Hang seo.

Saya pikir asisten pelatih dari Shin Tae yong seperti Dzenan Radonic yang membawa tim belia kita ke turnamen Toulon lalu meskipun tersingkir, tapi melahirkan permainan yang cukup impresif dan kelihatannya hubungan batin pria Montenegro ini lebih lumer ke anak asuhnya.

Jika U19 juga ditangani Shin Tae yong, sisi psikologisnya tentu berimbas kepada anak-anak karena tentu saja perlakuan melatih tim senior sangat berbeda dengan tim U19. Bijaksananya adalah melatih tim belia akan lebih khusus tanpa diresonansi dari pelatihan tim senior yang sudah mature dan take it for granted.

Lagian enggak enak dilihat oleh tim U19 yang lain, jika pelatih senior kita juga melatih tim belia, paling tidak Shin Tae yong lebih legowo untuk melepas penuh tim muda ini ke asistennya, toh masih tetap dalam radar dia.
Dan lalu biarkan tim U19 kita menemukan bentuk alamiahnya sehingga bisa lebih maksimal tanpa harus menanggung beban mental seberat tim nasionalnya.

Mereka akan berkembang dengan bakatnya yang khas, seperti Ronaldo Kwateh meski hanya memasukkan 1 gol tetapi gerakan signaturenya sudah terlihat bahwa dia membawa gaya sepakbola yang tinggi di usianya yang rendah. Dia terlihat pembeda dari rekan setimnya, pergerakannya yang menarik dengan skill yang banyak kita temui di sekitaran pemain-pemain internasional. Iya nggak sih? Iya dong!

Menghadapi lawan mendatang yatu Thailand, mungkin kita boleh setel mode lebih serius, tanpa menghilangkan benang merah bahwa permainan anak muda kita ini adalah laga di masa usia belia, seperti pertandingan gembira kemarin SMA lawan SMP yang lurus hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun