Kami ditempatkan di kamar-kamar sudut yang sinarnya sangat kurang sehingga warnanya kusam. Tapi ini rumah sakit lebih tepatnya rumah peristirahatan yang steril. Iya!Â
Beberapa ruang melingkar ini berisi kesunyian yang dibuatnya sendiri, lorongnya yang hanya satu seperti bercabang berhenti di setiap kamar. Tanpa terlihat batasnya, kamar-kamar ini seperti menyisihkan dirinya dari ruang-ruang lain yang tampak normal.
 Orang-orang yang membesuk sangat jarang, biasanya jika ada pasien baru yang masuk anggota yang kami sebut sebagai stasiun hari-hari terakhir, hari pertama saja datang. Keesokan tidak lagi, barangkali penjenguk baru itu melihat sanak atau kerabatnya mulai memasang jarak dengan mereka dan begitu terikat dengan kami.Â
Jadilah kita-kita hanya di ladeni oleh seorang suster tua yang tabah, dia kerap berbicara sendiri setiap memberi remedi. Suster yang berwajah bosan dan mulai tidak bisa tidak menjadi bagian dari kelompok kami, gerombolan hari-hari terakhir. Â
Aku tidak tahu siapa yang memulai dan memimpin kelompok ini, tidak ada yang tahu bagaimana sejarahnya. Mereka hanya tahu ketika ditempatkan di ranjang besi masing-masing, serta merta mereka mengibaskan tangannya yang lemah, tanda selamat datang ke dalam gerombolan hari-hari terakhir.Â
Banyak yang tidak bergerak atau hanya mengoceh, tapi napasnya menyembur. Aku sendiri beruntung bisa duduk di kursi roda namun tidak bisa menggerakkannya sendiri. Suster tunggal itu saja yang menggiringku ke jendela setiap siang, menatap hari yang selalu berwarna kelabu.
Suster sering mengomel, mataku hampir buta buat apa di jendela? Aku tidak pernah menjawabnya. Aku hanya mencari sapuan angin dari kisi-kisi jendela tidak lebih.
Buat apa kau berlaku itu, hai buta? Kata pasien sebelahku yang selalu mengeluarkan air liur.
Aku berharap melihatnya, kawan! Balasku
Kau tak akan menemukannya! Hihihihi.. Sahutnya meringkik.