Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Anak Berjalan ke Matahari

28 Januari 2021   14:46 Diperbarui: 28 Januari 2021   14:53 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Rudy and Peter Skitterians from Pixabay

Sejenak aku menatap rumah duka, sebelum kehendak kaki melangkah masuk. Orang orang pelayat mengambil duduk dengan diam di halaman, di dalamnya tampak orang orang lebih sunyi ditengah sedikit cahaya. 

Pagi ini sebenarnya cerah, namun ketika ku tengadah, awan seperti menarik diri dari langit, sehingga hanya biru menghujam. Awan seperti gaib, entah berkunjung kemana. 

Barangkali dia sedang mengisi tangisan mata keluarga yang berduka. Tidak mengapa. Aku menganggukan kepala sendiri, kerna ku tau gadis kecil itu yang meninggal. 

Cuma aku tidak tau bagaimana cara dia meninggal. Tak lama ringan langkahku seperti melayang memasuki dinding duka, orang orang setengah tak mengacuhkan bagai tidak mengenal wajahku. 

Dan aku memaklumi, karena memang telah silam sekali aku pernah disini, dan pasti saja mereka, pelayat-pelayat itu, kurang mengenalku. Perempuan ibu dari anak itu, terpana memandang dengan kantung mata akan kedatangan ku. Bangkit dari silanya, dia menyongsong kedekap ku, sambil mengirim deras matanya. "Anak itu pergi, Bang..lihatlah.." katanya memburamkan mataku. 

Aku hanya membeku, mencoba mengusap wajah perempuan kecil terbujur yang sudah dingin memucat.  Masih kelihatan polos, gadis cilik itu seperti tertidur sehabis lelah bermain. Tidak ada stigma orang mati dewasa. Aku sembahyang lalu bertanya bagaimana cara dia mati? 

Perempuan itu menjawab bahwa dia pergi seperti alam.  Anak gadis mungil itu hanya membuka lemari kecil pakaiannya dan membawa beberapa kesukaannya, lalu dia menyelesaikan nafasnya, sambil berjalan ke terbit matahari. Aku mengangguk, mengerti, ditengah keputusasaan sang ibu.

Mungkin karena seribu satu kematian anak kecil, membuatku gamang, ketika ibu muda itu memohon tolong kepadaku. "Tolonglah, Bang.." pintanya melas. Aku yang pernah menghadapi matanya dulu, kembali kepada nostalgia romansa saat tanpa perbedaan. 

Kecantikan perempuan itu masih terpatri tak pernah mati. Aku menyibak rambut lurus hitamnya seperti yang biasa, menyadarkan diriku yang pernah muda, kembali ke jarak yang panjang. 

"Begitu lama kau tak pulang, Abang.." Dia masih menyelipkan kata rindu. Sedang aku menyetujui bahwa waktu bumi ini terasakan panjang, ketika ku pikir jalan waktuku telah menyimpan abad.  

Aku merasakan tua di kemudaan sejak melakoni perjalanan awan. Sepertinya dia mengingatkan janji untuk tak mengingkari, bahwa aku akan berjuang apapun untuk anaknya kelak. Namun untuk kematian, aku hanya bisa memegang tangan halusnya. "Aku akan meluruskannya.." setengah berjanji yang tak jelas ku bisikan ke telinga indahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun