Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanda Akhir

13 Juli 2020   10:34 Diperbarui: 13 Juli 2020   10:48 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Shinta masih meneruskan pintalan rendanya, kedua tangannya gemetaran menganyam pin dengan gerak  rumus benang berulang. Kadang jeda sejenak lalu berputar kencang dan memelan untuk kembali berhenti. 

Hatinya tidaklah disitu, Shinta tau, bahwa tidaklah penting merampungkan renda kardigan sesuai dengan bayangannya. Ada ruang dan waktu didepan yang dirasakan sudah tertinggal, makanya dia segan seganan, menjadi seperti ngasal mengerjakan yang tidak perlu namun terpaksa dilakukan. 

Entah sudah keberapa kali rajutan ini terkendala, digeletakkan tanpa kejelasan progress dan sudah berapa tempat menyimpan berpindah pindah. Jika lagi mood, Shinta melipatnya rapih didalam lemari buffet kesayangannya, atau diletakan di atas rak kerja pernik perniknya, atau terkadang hanya dionggokkan saja di atas lemari buku buku lawasnya.

Hari saja belum menyentuh pagi, ketika Shinta berganti hasrat untuk membaca, meskipun dia terjaga dengan sedikit malas, pasti harus ada yang digawenya meskipun tergoda dengan setengah hati. 

Shinta mengingat tentang novel yang masih terbaca sepertiga jilid. "Masih panjang, heh?" dia melenguh ketika teringat harus meracik teh pagi hangatnya. Lalu menggeletakkanya buku yang telah tertinggal hari itu di meja makan kayunya. Mencurah keran panas dispenser yang selalu lupa dimatikan hot switchnya, tapi tak mengapa, dia sudah bosan mengeluhkan kealpaan kecil yang menerusak akhir akhir ini. Secangkir teh manis mulai diteguknya, perlahan sekalian mengumpulkan rentang waktu yang akan dihadapinya di sepanjang hari ini.

Memang berbagai aktifitas rumah telah disusunnya sejak beberapa minggu terkhir ini, meski tanpa rencana yang jelas, skedul yang teratur maupun target yang terukur. Tidak layaknya di silam umurnya, selagi muda dan enerjik dengan ambisi merangkum berupa kerja sekaligus. Shinta hanya mengurut sesuai dengan alurnya saja, namun kelihatannya sekarang tanpa cita cita. Seperti hanya mengikuti suara detik jarum jam tanpa peduli angka yang tertunjuk.

Separuh cangkir teh dengan hangat yang tanggung menghentikan tegukan bibirnya, meraih rencana membaca buku yang terbuka dihadapannya.  

"Ah, aku terlupa maksud coretan coretan terkahir" dia mengenakan kacamata positifnya, sambil berkerut. Menarik napas mengamati lingkaran, garis tebal, kata persamaan yang di goreskan di lembar buku novelnya. Seperti ingin menegaskan, mengoreksi atau bahkan memarahi kata kata yang tidak ditemukan padanannya. 

Ada yang mesti dilakukan dengan buku berkisah ini, supaya waktu dan kesepian yang terentang ikut merasakan. Bahwa adalah perhatian yang mesti diberikan lebih kepada hati terdalamnya. Yang alhasil, buku novel yang tidak seberapa lanjut terbaca itu, begitu penuh dengan coretan coretan tangannya, bermaksud lebih kepada catatan catatan yang ingin ditegaskan untuk meyakinkan kepada waktu ketimbang arti. 

Dan Shinta mulai menoreh lagi segala tanda dengan pen warna kedalam lembar cerita yang dibacanya. Sehingga waktu tanpa terasa memasuki waktu matahari melewati duabukit dengan garis garis terangnya menyapa jendela jendela yang belum terbuka. Mungkin mulai jengah dengan waktu yang melambat, Shinta menggelontorkan pena penawarnanya berkeliaran diatas meja. "Tak ada yang pernah selesai, dari keinginan yang memungkas" dia berkata dalam hati, ketika membiarkan progress bacaan hanya mengambil porsi minim di pagi ini. Diteguknya lagi teh yang sudah mendingin, sepeti tak ingin, kecuali sekedar membasahi kedua bibir.

Sebentar pula mentari meninggi, ada lagi satu kerja yang belum selesai, kerja yang bakal menjadi tanda buta Shinta tua. Salah satu pelarian dimasa mudanya yaitu melukis, yang kadang dikerjakannya saat kerja karirnya menemui keruwetan atau kebosanan. Biasanya dia melukis, berbekal memang kepintarannya yang tersembunyi sejak sekolah dahulu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun