Indah masih melarungkan mata indahnya hingga ujung laut terjauh yang melengkung bersama bibir cakrawala. Pesona wajahnya tak juga lekang, meski merona kesedihan dibungkus senja yang perlahan turun melahap garis garis sinar matahari yang pulang. Indah sering bersendiri merenung di pasir pantai sejak banyak kepergian dari kehidupannya.Â
Dari pertama bapaknya yang kalah berjuang melawan penyakit kanker yang mortal, hinga diteruskan oleh kepergian sang ibu dengan batuk parunya yang tak pernah reda, yang barangkali juga merupa potret kesepian kehilangan suaminya.Â
Dan Indah serupa ibunya, tidak bisa menerima kepergian, meski takdir selalu berkata di paling akhir, tetap lah saja Indah cantik, tak hendak sanggup menelannya. Matanya yang bening menjadi tak pernah mengering, seperti ada basah kekal yang selalu membasuh duka tiada pergi.Â
Terlebih baru saja Nasrul suaminya, juga meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di jalan bebas hambatan yang teramat panjang, sepanjang deret kedukaannya. Indah tak lagi merasakan musim, hanya ombak laut yang bisa menghiburnya.Â
Hanya ombak yang bisa disuruhnya pergi namun segera pula dia mendapatkannya kembali. Indah seperti menemukan obat mujarab, yang didalam kalbunya dikatakan, hanya ombak pergi dan segera kembali.Â
Ombak di pantai adalah pacar, sahabat, orang tua dan segala sanak yang dimilikinya sekarang, ombak tak pernah pergi selamanya dan pulang selamanya. Dan hari ini satu lagi hari yang selesai, setelah senja menutup langit. Indah bersiap pulang meski ada rasa segan.
"Mbak Indah, kok belum kembali?" seorang ibu asong pantai yang mengenalnya memperingati dengan mata sedikit khawatir. Indah tidak menyahut, hanya bibir tipis kecilnya tersenyum, sambil berbalik memunggungi air laut yang masih bekerja. Â Lalu melangkah naik menuju rumahnya yang tampak terlihat dari pantai, berwarna putih biru bertuliskan 'Home by The Sea'.
Rumah itu dibeli oleh almarhum suaminya untuk mereka berdua ,sesaat sebelum bulannya berbulan madu, namun setelahnya hanya tinggal kenangan ditinggalkan tanpa penghuni, ketika mereka sebagai  penggila kerja urban yang penuh dengan pekerjaan sendiri sendiri.
Indah berhenti sejenak meluruskan kasutnya yang termakan pasir, kemudian masih menengok kebelakang, dimana sebentar lagi laut tampak menelan bulatan raksasa merah yang telah menyerah lelah. Dia mengurungkan tujuan pulangnya dan bersimpuh, memandang sunset.Â
Hatinya pilu, mencoba untuk melihat keluar dirinya, seolah olah didalam dirinya telah hancur, membiarkan kekuatan yang seakan mendorongnya ke arah manapun.
"Rasa sakit yang hebat memang menyebabkan jarak dari dunia" Indah melenguh kepada senja sambil menatap cakrawala.